Sejarah Wayang

punakawanArti harfiah dari wayang adalah bayangan tetapi dalam perjalanan waktu pengertian wayang tersebut berubah dan kini wayang dapat berarti pertunjukan panggung atau teater atau dapat pula berarti aktor dan aktris. Wayang sebagai seni teater berarti pertunjukan panggung dimana sutradara ikut bermain. Jadi berbeda dari sandiwara atau film dimana sutradara tidak muncul sebagai pemain. Adapun sutradara dalam pertunjukan wayang dikenal sebagai dalang yang perananya dapat mendominasi pertunjukan pertunjukan (Pandam Guritno, 1988: 7).

Buku-buku Jawa Kuno memuat permulaan adanya wayang. Dalam buku itu dinyatakan bahwa wayang adalah gambaran fantasi tentang bayangan manusia (Jawa: ayang-ayang). Perkembangan berikutnya wayang diartikan sebagai bayang-bayang boneka yang dimainkan di atas layar putih. Pengertian itu telah menunjuk pada boneka dua dimensi yaitu boneka wayang kulit (Suwaji Bastomi, 1996: 1).

Tinjuan dari sisi lain didasarkan pada anggapan bahwa orang Jawa jaman dajulu yatitu pada jaman neolitikum kira-kira pada tahun 500 sebelum Masehi mulai menaruh kepercayaan kepada roh nenek moyang bagi orang yang telah meninggal. Roh dianggap dapat memberi pertolongan dan perlindungan kepada setiap kehidupan. Oleh karena itu anak cucu yang masih hidup dalam usaha memajukan kehidupan keluarga di lingkungannya mereka menyembah kepada roh nenek moyang.

Atas dasar keyakinan tersebut maka roh nenek moyang dapat diundang untuk datang di tengah-tengah keluarga anak cucu. Kehadirannya dapat diharapkan akan memberi pengaruh berkah kepada anak cucu yang masih hidup. Pikiran dan anggapan seperti itulah yang mendorong orang Jawa membuat bayangan roh sehingga seolah-olah orang dapat berjumpa dengan roh nenek moyang yang telah meninggal (Suwaji Bastomi, 1996: 1).

Dengan segala macam cara orang berusaha menahan roh nenek moyang untuk sementara dalam bayangan yang telah mereka buat tadi. Cara-cara yang ditempuh untuk menahan roh nenek moyang tersebut dengan memilih:

  1. Tempat khusus, yaitu di dalam rumah tempat tinggal keluarga yang dianggap gaib. Misalnya pendapa, pringgitan, mungkin juga di lingkungan alam terbuka yang dianggap gaib misalnya di sendang (kolam yang bermata air) yang berada dibawah pohon rindang.
  2. Waktu Khusus, yaitu waktu yang dianggap gaib seirama dengan gerak jiwa serta alamnya. Misalnya pada waktu tengah malam pada saat roh nenek moyang sedang mengembara.
  3. Orang Sakti, yaitu orang yang mampu berhubungan dengan hal-hal gaib antara lain pendeta, tokoh masyarakat, syaman, dukun, atau dalang (Suwaji Bastomi, 1996: 2)

Atas dasar kepercayaan kepada roh nenek moyang maka wayang dapat diartikan sebagai bayangan roh nenek moyang. Untuk memvisualisasikan atau menyatakan bayangan roh dibuatlah boneka yang diproyeksikan pada sehelai layar putih. Boneka berfungsi sebagai tempat sementara roh yang datang, sedangkan bayangan boneka sebagai bayangan roh yang tinggal sementara di dalam boneka.

Dasar penciptaan wayang adalah kepercayaan terhadap roh nenek moyang. Mula-mula bayangan roh nenek moyang digoreskan pada daun tal (Jawa: rontal) berupa gambar garis. Alat untuk menggambar adalah paku runcing. Bekas goresan paku diusap dengan jelaga (asap lampu minyak) sehingga gambar berwarna hitam dan menjadi jelas. Gambar pada rontal berukuran tinggi 2,5 cm, sesuai dengan ukuran lebar rontal. Gambar tersebut mula-mula hanya dipertunjukkan kepada lingkungan terbatas yakni lingkungan keluarga saja, penuturnya adalah kepala keluarga. Kebiasaan ini terjadi lebih kurang pada tahun 779. Bahasa yang digunakan oleh penutur adalah bahasa Jawa sederhana belum dipengaruhi oleh bahasa sansekerta.

Gagasan tentang wayang telah ada sebelum kebudayaan Hindu masuk ke Jawa. Maka dari itu dapat dikatakan bahwa wayang merupakan ciptaan asli orang Jawa. Dasar penciptaannya adalah kepercayaan terhadap kekuatan gaib yang datang dari roh nenek moyang. Kepercayaan itu disebut kepercayaan animism (Suwaji Bastomi, 1996: 1-4).

One Comment

Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *