Sejarah Oeang Republik Indonesia (ORI)

oriMenteri Keuangan Mr. A. A. Maramis, pada tanggal 7 November 1945 membentuk suatu panitia yang dinamakan Panitia Penyelenggara Pencetakan Uang Kertas Republik Indonesia yang diketuai oleh T. R. B. Sabaruddin, Direktur Bank Rakyat Indonesia. Tugasnya ialah menyelenggarakan segala sesuatu yang bersangkutan dengan pencetakan uang. Ketika ditawari untuk menjadi Menteri Keuangan dalam Kabinet Sjahrir III, Sjafruddin menyatakan kesediannya. Salah satu faktornya ialah karena Sjafruddin ingin segera mempercepat proses pencetakan “Oeang Republik Indonesia” (ORI).

Sjafruddin yakin bahwa terwujudnya ORI dapat menjadi alat perjuangan yang ampuh dalam mencerminkan eksistensi negara Republik Indonesia yang berdaulat dan besar pula artinya untuk membiayai perjuangan seperti menggaji pegawai negeri dan tentara, membeli perlengkapan administrasi pemerintah dan lain-lain. Keluarnya ORI bukanlah tujuan utama. Tujuan ini baru akan tercapai apabila ditempuh dengan kerja keras yang ditinjau dari sudut ekonomi berarti meningkatkan produksi, bukan dengan mencetak uang (Rosidi, 2011: 127-137).

Dalam pelaksanaan tugasnya, panitia menghadapi kesulitan dan rintangan. Pencetakan ORI menggunakan alat yang harus dicari di dalam negeri. Tidak mungkin mendatangkan mesin pentjetak uang dari luar negeri melihat kondisi saat itu (Sikap, Bagian III no 11-24 Maret1949). Kesukaran memperolah bahan-bahan baku yang diperlukan seperti kertas, tinta, bahan kimia untuk fotografi dan zinkografi, pelat seng untuk klise dan alat-alat lainnya seperti mesin aduk untuk membuat tinta. Pembuatan klise dikerjakan di percetakan de Unie dan percetakan Balai Pustaka. Pembuatan gambar lithografi dilakukan di percetakan de Unie. Percetakan perdana dilakukan di percetakan Balai Pustaka dengan pertama-pertama mencetak lembaran uang seratus rupiah (Rosidi, 2011: 129). Terjadinya pertempuran Surabaya November 1945 dan kondisi politik Indonesia saat itu menyebabkan pencetakan uang yang beberapa bulan dilaksanakan di Jakarta dipindahkan ke pedalaman dengan alat yang serba kurang lengkap (Sikap, 24 Maret 1949).

Pihak Inggris yang pro Belanda memberikan pendapat tentang rencana pemerintah mengeluarkan uang sendiri, bahwa lebih baik menerima uang Hindia Belanda karena mempunyai kurs internasional, dan dapat dipergunakan untuk membayar keluar negeri. Ditambahkan, kalau pemerintah RI mengeluarkan uang sendiri, uang itu tidak laku di luar negeri. Pada kenyataannya uang NICA sekalipun mempunyai kurs internasional tidak diterima dan ditolak oleh rakyat. Uang Jepang ditarik, sebagai gantinya, ORI yang diterima penuh kepercayaan oleh rakyat. Penolakan terhadap uang Belanda merupakan suatu bukti nyata bahwa selain ORI uang lain sudah tidak dapat dijadikan alat penukar. Oleh karena itu, tidak perlu uang yang memiliki kurs luar negeri, yang dibutuhkan adalah uang yang diterima rakyat (Kedaulatan Rakyat, 26 Desember 1945).

Pada tanggal 29 sampai 30 Oktober 1946 uang yang dibuat sendiri oleh pemerintah Republik Indonesia dikeluarkan secara resmi sebagai alat penukaran, alat pembayaran yang sah, dan alat pengukur harga di seluruh wilayah yang secara de facto berada dibawah kekuasaan negara Republik Indonesia, yaitu Jawa, Madura dan Sumatra. Sebelum ORI dikeluarkan, pemerintah terlebih dahulu menarik semua uang Jepang dan uang Hindia Belanda dari peredaran dengan cara yang sedikit sekali menimbulkan kerugian bagi masyarakat dan menggantinya dengan uang baru, yang mempunyai harga tinggi serta dapat diawasi peredarannya (Sikap, 12 Maret 1949).

Langkah pertama dimulai tanggal 22 Juni 1946 pemerintah Republik Indonesia melarang orang Indonesia membawa uang lebih dari ƒ 1.000 dari daerah Karesidenan Jakarta, Semarang, Surabaya, Bogor dan Priangan ke daerah-daerah lain di Jawa dan Madura tanpa izin lebih dahulu dari pemerintah daerah yang bersangkutan. Demikian juga dilarang membawa uang dari luar masuk ke pulau Jawa dan Madura melebihi ƒ 5.000 uang Jepang tanpa seijin Menteri Perdagangan dan Perindustrian. Mulai tanggal 15 Juli 1946 di Jawa dan Madura, seluruh uang Jepang dan uang Hindia Belanda yang ada di tangan masyarakat, perusahaan-perusahaan dan badan-badan lain harus disimpan pada bank-bank yang ditunjuk, yaitu Bank Negara Indonesia, Bank Rakyat Indonesia, Bank Surakarta, Bank Nasional, Bank Tabungan Pos dan Rumah Gadai (Beng To, 1991: 76-77).

Pengeluaran ORI didasarkan atas dua undang-undang yaitu pertama Undang-Undang no. 17/1946 tertanggal 1 Oktober 1946 yang berisi pemerintah akan mengeluarkan uang sendiri yakni Uang Republik Indonesia, sedangkan tentang bentuk, warna, harga uang tersebut dan lain-lain yang berhubungan dengan pengeluaran uang itu pengaturannya diserahkan kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia. Kedua Undang-Undang no 19/1946 yang diumumkan tanggal 24 Oktober 1946 disebut sebagai Undang-Undang tentang pengeluaran Uang Republik Indonesia, mengatur dasar nilai uang baru dengan uang Jepang, tentang pembayaran hutang lama yang belum lunas pada waktu berlakunya ORI, tentang uang Jepang yang masih berlaku sekarang, dan pengaturan harga-harga maksimum bagi barang-barang yang dipandang perlu yang penetapannya diserahkan kepada Menteri Kemakmuran. Dasar nilai ditentukan 10 rupiah ORI sama dengan emas murni seberat 5 gram. Emas murni jang dimaksud dalam pasal ini yaitu emas 24 karat. Sebagai dasar penukaran 50 rupiah uang Jepang sama dengan 1 rupiah ORI untuk wilayah Jawa dan Madura serta 100 rupiah uang Jepang sama dengan 1 rupiah ORI untuk wilayah Sumatera (Arsip Kementerian Penerangan no 1).

ORI berlaku sebagai alat pembayaran yang sah pada tanggal 29 malam 30 Oktober 1946 jam 24.00. Pada saat itu juga menurut putusan tersebut ORI menjadi satu-satunya alat pembayaran yang sah di daerah Republik di Jawa dan Madura. Di Sumatera, peredaran ORI, karena kesukaran-kesukaran dalam lapangan tehnik (kesulitan mengadakan pengangkutan dan menjamin keamanannya) tidak dapat diadakan dengan segera. Di Sumatera uang Jepang masih terus berlaku sebagai alat pembayaran yang sah, di samping uang sementara (Uang Republik Indonesia untuk provinsi Sumatera) sampai kira kira pertengahan tahun 1948 (Sikap, 12 Maret 1949).

Pada awal penyebarannya, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 19/1946 yang memuat tentang pembagian uang sebesar 1 rupiah ORI pada setiap orang, dan ditambah 3 sen untuk tiap kepala keluarga. Uang itu dimaksudkan sebagai modal untuk setiap orang. Adapun pertimbangan pemerintah mengenai jumlah uang 1 rupiah tersebut adalah dengan dasar bahwa pada saat itu setiap orang mempunyai uang tunai sebesar 50 rupiah uang Pendudukan Jepang, yang sebelumnya sudah diputuskan. Pembagian uang dilakukan secara serentak pada hari dan waktu yang bersamaan di seluruh Jawa dan Madura. Pembagian uang baru diberikan langsung kepada masyarakat secara merata sebagai imbalan atas uang lama yang tidak berlaku lagi, dan juga agar masyarakat tidak dirugikan (Nurhajarini, 2006: 36).

Pada tanggal 29 Oktober 1946 malam, sebelum keluarnya ORI, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Menteri Keuangan Sjafruddin Prawiranegara menyampaikan pidato melalui RRI. Dalam pidato itu disampaikan pemberitahuan tentang keluarnya dan diresmikannya ORI pada pagi hari tanggal 29 Oktober 1946 sebagai alat pembayaran yang sah. Sjafruddin Prawiranegara selaku Menteri Keuangan menyampaikan pesan guna mengurangi keguncangan ekonomi dengan keluarnya ORI tersebut. Isi pesan Sjafruddin antara lain mengajak rakyat untuk berhemat, bagi perusahaan-perusaan terutama toko-toko, warung-warung jangan menjual barang terlalu banyak untuk keperluan sehari-hari dan jangan menutup toko, pembeli dibatasi, toko-toko dan warung-warung diberi kesempatan untuk menyimpan uangnya di bank-bank sampai tanggal 30 Oktober 1946, memberi kelebihan persediaan makanan kepada tetangga yang kekurangan, jangan pergi ke bank untuk jumlah kecil untuk mencari untung, tetapi harus berani menderita kerugian (Prawiranegara, 2011: 32).

ORI tidak dapat diedarkan di Sumatra, maka untuk mengatasi kesullitan keuangan, pada akhir tahun 1947 beberapa daerah di Sumatra mengeluarkan jenis uang sendiri. Diantaranya, ORIPS (Oeang Repoeblik Indonesia Provinsi Sumatra), URISU (Oeang Repoeblik Indonesia Sumatra Utara), URIDJA (Oeang Repoeblik Indonesia daerah Djambi), URIDA (Oeang Repoeblik Indonesia daerah Aceh), ORITA (Oeang Repoeblik Indonesia daearah Tapanuli), dan Uang Mandat yang dikeluarkan oleh Dewan Perahanan daerah sumatra Selatan. Bahkan daerah Banten yang terisolasi, dikeluarkan URIDAB (Oeang Repoeblik Indonesia daerah Banten) (Beng To, 1991: 71).

Di wilayah Indonesia tidak hanya ada satu jenis uang. Pihak NICA (Belanda) mengeluarkan uang baru sendiri yang dinamakan uang NICA. Peredaran uang NICA bersamaan dengan ORI telah menimbulkan kesukaran bagi rakyat, khususnya penduduk daerah perbatasan anatara daerah yang dikuasai Belanda dan daerah yang dikuasai Republik. Pada satu pihak penduduk takut diketahui memiliki ORI oleh tentara NICA, dipihak lain takut pula diketahui memiliki uang NICA oleh pasukan Republik. Ternyata makin lama uang Republik makin populer dikalangan rakyat (Rosidi, 2011: 141).

ORI dalam sejarah kemerdekaan Indonesia telah menjalankan peranan sebagai alat yang mempersatukan bangsa Indonesia untuk bersama-sama dengan pemerintah Republik yang masih muda itu berjuang mempertahankan dan menegakkan negara Indonesia. Dengan kata lain ORI telah berperan sebagai alat perjuangan kemerdekaan, baik dalam menghimpun tenaga maupun dalam membiayai berbagai macam keperluan negara. ORI berfungsi juga sebagai alat revolusi yang mendukung dan memungkinkan pemerintah Indonesia mangatur administrasinya, mengorganisasi dan memperkuat tentaranya, memelihara keamanan dan ketertiban, mengurus kesejahteraan rakyat dalam menentang agresi Belanda (Beng To, 1991: 69-84).

Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *