Restorasi Meiji
|Pada masa pemerintahan keShogunan[1], Jepang menerapkan politik isolasi yaitu menutup diri dari pengaruh asing. Keberadaan asing, khususnya Eropa, dikhawatirkan akan menimbulkan kolonialisme dan imperialisme asing di Jepang. Namun pada akhirnya politik isolasi Jepang harus diakhiri setelah Commodore Perry berhasil memaksa Jepang untuk menandatangani Perjanjian Shimoda. Isi dari Perjanjian Shimoda antara lain Jepang membuka pelabuhannya untuk bangsa asing.
Terbukanya Jepang bagi bangsa asing berdampak pada runtuhnya kekuasan Shogun dan tampilnya Kaisar Meiji (Meiji Tenno), menandai bangkitnya nasionalisme Jepang. Pada tanggal 6 April 1868, Meiji Tenno memproklamasikan Charter Outh (Sumpah Setia) menuju Jepang baru yang terdiri atas lima pasal, seperti berikut:
- Akan dibentuk parlemen.
- Seluruh bangsa harus bersatu untuk mencapai kesejahateraan.
- Adat istiadat yang kolot dan yang menghalangi kemajuan Jepang harus dihapuskan.
- Semua jabatan terbuka untuk siapa saja.
- Mendapatkan ilmu pengetahuan sebanyak mungkin untuk pembangunan bangsa dan negara.
Untuk mencapai cita-cita tersebut maka Meiji Tenno melaksanakan pembaharuan (restorasi[2]). Itulah sebabnya Kaisar Meiji kemudian dikenal dengan Meiji Restorasi. Restorasi yang dilakukan meliputi segala bidang, yakni politik, ekonomi, pendidikan dan militer.
Bidang Politik
Langkah pertama yang diambil oleh Meiji Tenno ialah memindahkan ibu kota dari Kyoto ke Yedo yang kemudian diganti menjadi Tokyo (yang berarti ibu kota timur). Selanjutnya, diciptakan bendera kebangsaan Jepang Hinomoru dan dan lagu kebangsaan Jepang, Kimigayo. Shintoisme dikukuhkan sebagai agama nasional. Jabatan shogun dan daimyo dihapuskan (1868) dan samurai dibubarkan dan digantikan dengan sistem Monarki Konstitusional[3]. Para daimyo kemudian diangkat menjadi pegawai negeri, sedangkan para samurai dijadikan tentara nasional. Di bawah pimpinan Ito Hirobumi (kemudian dikenal Bapak Konstitusi Jepang) pada tahun 1889 berhasil disusun konstitusi Jepang.
Bidang Ekonomi
Pembangunan di bidang ekonomi, meliputi bidang pertanian, perindustrian, dan perdagangan, namun yang paling berhasil di bidang perindustrian dan perdagangan. Perdagangan Jepang maju pesat berkat dumping policy[4]. Di bidang industri muncul golongan baru yang disebut Zaibatsu yang terdiri atas keluarga Mitsui, Mitsubishi, Sumitomo, dan Jassuda.
Bidang pendidikan
Sistem pendidikan di Jepang meniru sistem pendidikan Barat. Dasar moral yang diajarkan di semua sekolah ialah Shintoisme dan Budhisme. Pada tahun 1871, dibentuklah Departemen Pendidikan. Selanjutnya pada tahun 1872 dikeluarkan Undang-Undang Pendidikan yang mewajibkan belajar untuk anak-anak umur 6–14 dan bebas uang sekolah. Sistem pendidikannya semimiliter.
Bidang Militer[5]
Dalam pembaharuan angkatan perang yang mempunyai peranan besar ialah keluarga Choshu dan Satsuma. Keluarga Choshu menangani pembaharuan Angkatan Darat dengan mencontoh Prusia (Jerman), sedangan keluarga Satsuma menangani pembaharaun Angkatan Laut dengan mencontoh Inggris. Bersamaan dengan modernisasi angkatan perang ini dihidupkan kembali ajaran bushido sebagai jiwa kemiliteran.
Sumber:
Leo Agung. 2002. Sejarah Asia Timur 1. Salatiga: Widya Sari Press
[1] Selama melaksanakan politik isolasi (1186-1867) sistem pemerintahan menggunakan sistem bakufu dengan ciri-ciri-ciri: (a) kaisar (tenno) hanya sebagai kepala negara dan tidak memegang pemerintahan, (b) pemerintahan negara diserahkan kepada seorang shogun, (c) tiap daerah dipegang oleh daimyo, (d) Daimyo diberikan hak memepunyai tentara sendiri yang disebut samurai.
[2]Restorasi berarti pemulihan, didalamnya terkandung untuk pembangunan dan pembaharuan. Dalam hal ini merupakan pemulihan kekuasaan negara dari Shogun kepada Kaisar sebagai seorang yang berhak atas kekuasaan baik secara teoritis maupun praktis
[3] Monarki konstitusional berarti suatu sistem pemerintahan yang mana kabinet bertanggungjawab kepada Kaisar. Kaisar merupakan penguasa tertinggi yang dibantu oleh Kabinet, Privy Council dan Genro
[4] Politik dumping adalah kebijakan yang dilakukan dengan jalan menjual produk ke luar negeri lebih murah daripada dalam negeri. Politik dumping bertujuan untuk menguasai pasar di luar negeri.
[5] Sumber: Leo Agung. 2002. Sejarah Asia Timur 1. Salatiga: Widya Sari Press