Piagam Jakarta
|Piagam Jakarta merupakan hasil rumusan dari Panitia Sembilan sebagai kelanjutan dari sidang BPUPKI yang pertama. Piagam Jakarta yang memuat dan berisi tentang rumusan resmi pertama kali sebuah Pancasila bagi Republik ini, disusun dan ditandatangani pada tanggal 22 Juni 1945 oleh sembilan pemimpin terkemuka Indonesia yang tergabung dalam panitia kecil, berikut nama- nama yang menjadi anggota Panitia Sembilan dari BPUPKI, yaitu: Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, Ahmad Subardjo, KHA Wahid Hasjim, dan Muhammad Yamin.
Dalam detik-detik yang menentukan menjelang pengesahan Piagam Jakarta, Ir. Soekarno selaku Ketua Panitia Sembilan dengan gigih meyakinkan seluruh anggota sidang BPUPKI untuk menerima rumusan Piagam Jakarta sebagai gentlemen agreement bangsa Indonesia. BPUPKI adalah satu-satunya badan yang paling representatif untuk mewakili bangsa Indonesia ketika itu, baik dari segi keterwakilan suku, agama maupun aliran politik. Isi dari Piagam Jakarta:
- Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
- Kemanusiaan yang adil dan beradab
- Persatuan Indonesia
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Piagam Jakarta dari segi substansi maupun spiritnya merupakan kristalisasi cita-cita bangsa dan tujuan bernegara serta perjanjian luhur yang menjiwai proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Namun sebagaimana diketahui sehari setelah proklamasi kemerdekaan, pada tanggal 18 Agustus 1945 para pemimpin Islam bersedia mencoret tujuh kata yang tertuang dibelakang kata Ketuhanan, yaitu, dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Perubahan yang fundamental tersebut terjadi karena sore hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia oleh Bung Karno dan Bung Hatta yakni tanggal 17 Agustus 1945 itu, seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut) datang menemui Bung Hatta, menyampaikan bahwa wakil-wakil dari agama Protestan dan agama Katolik dalam daerah-daerah yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang menyatakan keberatan terhadap bagian kalimat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar yang dirumuskan oleh panitia Sembilan dalam bunyi Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Mereka para wakil-wakil katolik dan protestan mengakui bahwa bagian kalimat itu tidak mengikat mereka, hanya mengenai rakyat yang beragama Islam saja. Bung Hatta kemudian menemui beberapa pemimpin Islam untuk membicarakan hal tersebut, yakni Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, dan Teuku Muhammad Hasan ( 1997 : 51 – 53 )
Mantan Menteri Luar Negeri dan tokoh diplomasi kemerdekaan RI Mr. Mohamad Roem menulis, “Hilangnya tujuh perkataan (dalam Piagam Jakarta, pen) dirasakan oleh umat Islam sebagai kerugian besar dan tidak jarang yang menyayangkannya. Tetapi, karena hilangnya tujuh perkataan itu dimaksudkan agar golongan minoritas jangan memisahkan diri dari Republik Indonesia, maka umat Islam bersedia memberi korban yang besar itu. Karena itu, Menteri Agama, Jenderal Alamsjah Ratu Perwiranegara, pernah mengatakan bahwa Pancasila adalah hadiah terbesar yang diberikan umat Islam kepada Republik Indonesia” (1970 : 55 )
Keputusan yang diambil oleh beberapa pemimpin Islam dalam waktu yang sangat singkat itu, sungguh mencerminkan sikap kenegarawanan dan komitmen terhadap persatuan dan kesatuan bangsa yang tiada bandingnya dalam sejarah Republik Indonesia.
Dalam kaitan ini Bung Hatta dalam bukunya Sekitar Proklamasi (1970) menyatakan, “Pada waktu itu kami menginsyafi bahwa semangat Piagam Jakarta tidak lenyap dengan menghilangkan perkataan Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, dan menggantinya dengan kalimat yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa.” Hal-hal yang mengenai syariat Islam yang berhubungan dengan kepentingan umat Islam, menurut Hatta, dapat diajukan ke DPR untuk diatur dalam bentuk Undang-Undang ( 1997).
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945 secara bulat menyutujui secara bulat penghapusan tujuh kata itu dan itulah yang menjadi dasar Negara RI dalam Pembukaan UUD 1945. Betapa besarnya solidaritas dan suasana persatuan serta kebesaran jiwa para pendiri republik pada waktu itu.