Perundingan dalam rangka mempertahankan kemerdekaan

sutan syahrirSetelah merdeka Indonesia menghadapi tantangan dalam upaya mempertahankan kemerdekaan. Hal ini diakibatkan oleh adanya keinginan Belanda kembali berkuasa di Republik yang baru merdeka. Upaya Belanda mendapatkan titik terang dengan adanya tentara Sekutu (AFNEI) yang bertugas melucuti tentara Jepang yang ada di Indonesia. NICA (Belanda) mendapatkan tumpangan untuk kembali menguasai Indonesia. Rakyat Indonesia dengan sekuat tenaga berupaya mempertahankan kemerdekaan. Salah satu cara adalah dengan mengadakan diplomasi atau perundingan dengan pemerintah Belanda.

Jalur diplomasi ditempuh oleh pemerintah Indonesia dengan memperhatikan beberapa factor. Para pemimpin Indonesia berupaya untuk memperkecil korban yang tewas. Selain itu diplomasi dilakukan karena pada saat itu persenjataan yang berhasil dirampas dari Jepang belum mampu menandingi senjata Belanda yang ditopang oleh tentara AFNEI. Adanya alur perundingan merupakan salah satu politik pencitraan Indonesia di dunia internasional. Perundingan membuktikan bahwa Negara Indonesia adalah Negara cinta damai. Setiap permasalahan diselesaikan melalui jalur damai, yaitu meja perundingan. Selama berdirinya Republik Indonesia hingga pengakuan kedaulatan, telah terjadi beberapa perundingan, yaitu:

Perundingan Linggarjati

Perundingan Linggajati adalah suatu perundingan antara Indonesia dan Belanda di Linggarjati, Jawa Barat yang menghasilkan persetujuan mengenai status kemerdekaan Indonesia. Hasil perundingan ini ditandatangani di Istana Merdeka Jakarta pada 15 November 1946 dan diratifikasi kedua negara pada 25 Maret 1947.

Latar Belakang

Masuknya AFNEI yang diboncengi NICA ke Indonesia karena Jepang menetapkan ‘status quo’ di Indonesia menyebabkan terjadinya konflik antara Indonesia dengan Belanda, seperti contohnya Peristiwa 10 November, selain itu pemerintah Inggris menjadi penanggung jawab untuk menyelesaikan konflik politik dan militer di Asia, oleh sebab itu, Sir Archibald Clark Kerr, diplomat Inggris, mengundang Indonesia dan Belanda untuk berunding di Hooge Veluwe, namun perundingan tersebut gagal karena Indonesia meminta Belanda mengakui kedaulatannya atas Jawa,Sumatera dan Pulau Madura, namun Belanda hanya mau mengakui Indonesia atas Jawa dan Madura saja.

Pada akhir Agustus 1946, pemerintah Inggris mengirimkan Lord Killearn ke Indonesia untuk menyelesaikan perundingan antara Indonesia dengan Belanda. Pada tanggal 7 Oktober 1946 bertempat di Konsulat Jenderal Inggris di Jakarta dibuka perundingan Indonesia-Belanda dengan dipimpin oleh Lord Killearn. Perundingan ini menghasilkan persetujuan gencatan senjata (14 Oktober) dan meratakan jalan ke arah perundingan di Linggarjati yang dimulai tanggal 11 November 1946.

Jalannya Perundingan

Dalam perundingan ini Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir. Anggota delegasi Indonesia antara lain, Susanto Tirtoprodjo, Moh. Roem, A.K Gani. Delegasi Belanda diwakili oleh tim yang disebut Komisi Jendral dan dipimpin oleh Wim Schermerhorn dengan anggota H.J. van Mook, Maz Van Poll,dan Lord Killearn dari Inggris bertindak sebagai mediator dalam perundingan ini.

Hasil perundingan

Hasil perundingan terdiri dari 17 pasal yang antara lain berisi:

  1. Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia, yaitu Jawa, Sumatera dan Madura.
  2. Belanda harus meninggalkan wilayah RI paling lambat tanggal 1 Januari 1949.
  3. Pihak Belanda dan Indonesia Sepakat membentuk negara RIS.
  4. Dalam bentuk RIS Indonesia harus tergabung dalam Commonwealth /Persemakmuran Indonesia-Belanda dengan mahkota negeri Belanda sebagai kepala uni.

Pro dan Kontra di kalangan masyarakat Indonesia

Perjanjian Linggarjati menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia, contohnya beberapa partai seperti Partai Masyumi, PNI, Partai Rakyat Indonesia, dan Partai Rakyat Jelata. Partai-partai tersebut menyatakan bahwa perjanjian itu adalah bukti lemahnya pemerintahan Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan negara Indonesia. Untuk menyelesaikan permasalahan ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 6/1946, dimana bertujuan menambah anggota Komite Nasional Indonesia Pusat agar pemerintah mendapat suara untuk mendukung perundingan linggarjati. Pasca perjanjian Linggarjati kemudian, Kabinet Syahrir harus menyerahkan mandate kepada presiden.

Pelanggaran Perjanjian

Pelaksanaan hasil perundingan ini tidak berjalan mulus. Pada tanggal 20 Juli 1947, Gubernur Jendral H.J. van Mook akhirnya menyatakan bahwa Belanda tidak terikat lagi dengan perjanjian ini, dan pada tanggal 21 Juli 1947, meletuslah Agresi Militer Belanda I. Hal ini merupakan akibat dari perbedaan penafsiran antara Indonesia dan Belanda. PBB kemudian mengambil tindakan terhadap agresi Belanda tersebut dengan cara membentuk KTN. Lembaga ini dibentuk pada tanggal 25 Agustus 1947 sebagai reaksi PBB terhadap Agresi Militer Belanda I. Lembaga ini beranggotakan 3 negara : Australia (dipilih oleh Indonesia) dengan tokoh Richard Kirby, Belgia (dipilih oleh Belanda) dengan wakil Paul Van Zealand dan Amerika Serikat (pihak netral) yang mengutus wakil dr. Frank Graham.

Badan ini berperan dalam : mengawasi secara langsung penghentian temabak menenmbak sesuai resolusi Dewan Keamanan PBB, memasang patok-patok wilayah status quo yg dibantu oleh TNI, dan mempertemukan kembali Indonesia Belanda dalam Perundingan Renville.

Perjanjian Renville

Jalannya Perundingan

Atas usulan KTN pada tanggal 8 Desember 1947 dilaksanakan perundingan antara Indonesia dan Belanada di atas kapal renville yang sedang berlabuh di Jakarta. Delegasi Indonesia terdiri atas perdana menteri Amir Syarifudin, Ali Sastroamijoyo, Dr. Tjoa Sik Len, Moh. Roem, Haji Agus Salim, Narsun dan Ir. Juanda. Delegasi Belanda terdiri dari Abdulkadir Widjojoatmojo, Jhr. Van Vredeburgh, Dr. Soumokil, Pangran Kartanagara dan Zulkarnain. Ternyata wakil-wakil Belanda hampir semua berasala dari bangsa Indonesia sendiri yang pro Belanda. Dengan demikian Belanda tetap melakukan politik adu domba agar Indonesia mudah dikuasainya.

Hasil Perundingan

Setelah selesai perdebatan dari tanggal 8 Desember 1947 sampai dengan 17 Januari 1948 maka diperoleh hasil persetujuan damai yang disebut Perjanjian Renville. Pokok-pokok isi perjanjian Renville, antara lain sebagai berikut:

  1. Belanda tetap berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia samapi kedaulatan Indonesia diserahkan kepada Republik Indonesia Serikat yang segera terbentuk.
  2. Republik Indonesia Serikat mempunyai kedudukan yang sejajar dengan negara Belanda dalam uni Indonesia-Belanda.
  3. Republik Indonesia akan menjadi negara bagian dari RIS
  4. Sebelum RIS terbentuk, Belanda dapat menyerahkan sebagain kekuasaannya kepada pemerintahan federal sementara.
  5. Pasukan republic Indonesia yang berda di derah kantong haruns ditarik ke daerah Republik Indonesia. Daerah kantong adalah daerah yang berada di belakang Garis Van Mook, yakni garis yang menghubungkan dua derah terdepan yang diduduki Belanda.

Perjanjian Renville ditandatangani kedua belah pihak pada tanggal 17 Januari 1948. adapun kerugian yang diderita Indonesia dengan penandatanganan perjanjian Renville adalah sebagai berikut :

  • Indonesia terpaksa menyetujui dibentuknya negara Indonesia Serikat melalaui masa peralihan.
  • Indonesia kehilangan sebagaian daerah kekuasaannya karena garis Van Mook terpaksa harus diakui sebagai daerah kekuasaan Belanda.
  • Pihak republik Indonesia harus menarik seluruh pasukanya yang berda di derah kekuasaan Belanda dan kantong-kantong gerilya masuk ke daerah republic Indonesia.

Pro-Kontra terhadap Hasil perjanjian

Penandatanganan naskah perjanjian Renville menimbulkan akibat buruk bagi pemerinthan republik Indonesia, antara lain sebagai berikut:

  1. Wilayah Republik Indonesia menjadi makin sempit dan dikurung oleh daerah-daerah kekuasaan belanda.
  2. Timbulnya reaksi kekerasan dikalangan para pemimpin republic Indonesia yang mengakibatkan jatuhnya cabinet Amir Syarifuddin karena dianggap menjual negara kepada Belanda.
  3. Perekonomian Indonesia diblokade secara ketat oleh Belanda
  4. Indonesia terpaksa harus menarik mundur kesatuan-kesatuan militernya dari daerah-daerah gerilya untuk kemudian hijrah ke wilayah Republik Indonesia yang berdekatan.
  5. Dalam usaha memecah belah Negara kesatuan republic Indonesia, Belanda membentuk negara-negara boneka, seperti; negara Borneo Barat, Negara Madura, Negara Sumatera Timur, dan Negara Jawa Timut. Negara boneka tersebut tergabung dalam BFO (Bijeenkomstvoor Federal Overslag).
  6. Terjadi pemberontakan yang kecewa terhadap perjanjian Renville semisal PKI di Madiun yang dipimpin oleh Musso dan Amir, serta pemberontakan yang dipimpin oleh Kartosuwiryo di Jawa Barat.

Agresi Militer Belanda II

Seperti pada perundingan Linggarjati, pada perundingan Renville ini bangsa Belanda juga mengingkari janjianya dengan cara melakukan agresi militer Belanda yang kedua. Pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda menyerbu ibu kota republic Indonesia saat itu, yakni Yogyakarta. Presiden, wakil presiden dan beberapa menteri ditangkap oleh Belanda. Sedangkan tentara yang dipimpin oleh Jenderal Sudirman melakukan aksi perang gerilya. Sebelum tertangkap presiden Soekarno sudah menunjuk menteri kemakmuran Syafrudin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi, kalau hal tersebut gagal, presiden juga sudah memerintahkan A.A Maramis untuk membentuk pemerintahan sementara di India.

PBB mengkutuk tindakan Belanda tersebut kemudian membentuk UNCI (United Nations Commisions for Indonesia). Badan perdamaian ini dibentuk pada tanggfal 28 Januari 1949 untuk menggantikan Komisi Tiga Negara yang dianggap gagal mendamaikan Indonesia – Belanda (Belanda kembali melakukan Agresi Militer setelah P. Renville). Peranan UNCI adalah : mengadakan Perundingan Roem Royen (7 Mei 1949) dan mengadakan Konferensi Meja Bundar di Den Haag Belanda.

Perjanjian Roem-Royen

Perjanjian Roem-Roijen (juga disebut Perjanjian Roem-Van Roijen) adalah sebuah perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang dimulai pada tanggal 14 April 1949 dan akhirnya ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes, Jakarta. Namanya diambil dari kedua pemimpin delegasi, Mohammad Roem dan Herman van Roijen. Maksud pertemuan ini adalah untuk menyelesaikan beberapa masalah mengenai kemerdekaan Indonesia sebelum Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tahun yang sama.

Kesepakatan

Hasil pertemuan ini adalah: 1) Angkatan bersenjata Indonesia akan menghentikan semua aktivitas gerilya, 2) Pemerintah Republik Indonesia akan menghadiri Konferensi Meja Bundar, 3) Pemerintah Republik Indonesia dikembalikan ke Yogyakarta, 4) Angkatan bersenjata Belanda akan menghentikan semua operasi militer dan membebaskan semua tawanan perang

Pada tanggal 22 Juni, sebuah pertemuan lain diadakan dan menghasilkan keputusan:

a. Kedaulatan akan diserahkan kepada Indonesia secara utuh dan tanpa syarat sesuai perjanjian Renville pada 1948

b. Belanda dan Indonesia akan mendirikan sebuah persekutuan dengan dasar sukarela dan persamaan hak

c. Hindia Belanda akan menyerahkan semua hak, kekuasaan, dan kewajiban kepada Indonesia

Pasca perjanjian

Pada 6 Juli, Sukarno dan Hatta kembali dari pengasingan ke Yogyakarta, ibukota sementara Republik Indonesia. Pada 13 Juli, kabinet Hatta mengesahkan perjanjian Roem-van Roijen dan Sjafruddin Prawiranegara yang menjabat presiden Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dari tanggal 22 Desember 1948 menyerahkan kembali mandatnya kepada Soekarno dan secara resmi mengakhiri keberadaan PDRI pada tanggal 13 Juli 1949.

Pada 3 Agustus, gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia dimulai di Jawa (11 Agustus) dan Sumatera (15 Agustus). Konferensi Meja Bundar mencapai persetujuan tentang semua masalah dalam agenda pertemuan, kecuali masalah Papua Belanda

Konferensi Inter Indonesia

Untuk memantapkan langkah RI dalam menghadapi Belanda di KMB pada tanggal 19 Juli 1949 RI mengadakan pendekatan dan koordinasi dengan (Bijeenkomst Foor Federal Overlaag (BFO) atau Musyawarah Negara-negara bagian Buatan Belanda. Hasil terpenting dalam pertemuan ini adalah RI dan BFO sepakat untuk bersama sama menghadapi Belanda dalam KMB. Hal-hal yang dibicarakan pada Konferensi Inter Indonesia adalah:

  1. Susunan Negara serikat akan dibentuk
  2. Bentuk kerja sama antara RIS dan Belanda dalam perserikatan UNI
  3. Sokongan BFO mengenai tuntutan RI atas penyerahan kedaulatan tanpa ikatan politik maupun ekonomi.
  4. Bidang kemiliteran dengan keputusan:
    1. Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) adalah angkatan perang nasional
    2. TNI menjadi inti APRIS dan akan menerima anggota-anggota Koninklijke Netherland-Idies Leger (KNIL) dan Veigligheids Batlyons (VB) dan kesatuan Belanda lainnya dengan syarat yang akan ditentukan selanjutnya.
    3. Pertahanan Negara adalah semata-mata hak pemerintah RIS, bukan hak Negara-negara bagian

Konferensi Meja Bundar

Konferensi Meja Bundar adalah sebuah pertemuan antara pemerintah Republik Indonesia dan Belanda yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda dari 23 Agustus hingga 2 November 1949.

Latar belakang

Setelah berhasil menyelesaikan masalah intern, bangsa Indonesia siap menhadapi Konferensi meja Bundar seperti hasil keputusan Perundingan Roem-Royen. Pada tanggal 23 Agustus 1949, Konferensi Meja Bundar (KMB) dibuka secara resmi di Ridderzaal, Den Haag Belanda.

Jalannya Sidang

Pada KMB, delegasi Indonesia dipimpin oleh Moh. Hatta dengan anggota Moh. Roem, Supomo, J. Leimena, Ali Sastroamijoyo, Sukiman, Soeyono Hadinoto, Sumitro Djoyohadikusumo, A.K Pringgodigdo, Kolonel B. Simatupang, Sumardi dan Ir, Juanda. BFO dipimpin oleh Sultan Hamid II, delegasi Belanda dipimpin oleh J.H. Van Maarseven, dan wakil dari UNCI diketuai Crithley. Masalah-masalah yang sulit diselesaikan adalah sebagai berikut:

  1. Masalah Uni Indonesia-Belanda.Indonesia menghendaki sifat kerja bebas tanpa adanya organisasi permanen, sedangkan Belanda menghendaki kerja sama yang luas dengan organisasi permanen.
  2. Soal utang Belanda. Indonesia hanya mau mengakui utang Belanda sampai menyerahnya Belanda kepada Jepang. Sebaliknya Belanda menghendaki agar Indonesia menanggung utang Belanda sampai hari itu, termasuk biaya operasi milter waktu agresi militer I dan agresi militer II.

Hasil konferensi

Hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) adalah:

  1. Serahterima kedaulatan dari pemerintah kolonial Belanda kepada Republik Indonesia Serikat, kecuali Papua bagian barat. Indonesia ingin agar semua bekas daerah Hindia Belanda menjadi daerah Indonesia, sedangkan Belanda ingin menjadikan Papua bagian barat negara terpisah karena perbedaan etnis. Konferensi ditutup tanpa keputusan mengenai hal ini. Karena itu pasal 2 menyebutkan bahwa Papua bagian barat bukan bagian dari serahterima, dan bahwa masalah ini akan diselesaikan dalam waktu satu tahun.
  2. Dibentuknya sebuah persekutuan Belanda-Indonesia, dengan monarch Belanda sebagai kepala negara
  3. Pengambil alihan hutang Hindia Belanda oleh Republik Indonesia Serikat
  1. Keradjaan Nederland menjerahkan kedaulatan atas Indonesia jang sepenuhnja kepada Republik Indonesia Serikat dengan tidak bersjarat lagi dan tidak dapat ditjabut, dan karena itu mengakui Republik Indonesia Serikat sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat.
  2. Republik Indonesia Serikat menerima kedaulatan itu atas dasar ketentuan-ketentuan pada Konstitusinja; rantjangan konstitusi telah dipermaklumkan kepada Keradjaan Nederland.

Kedaulatan akan diserahkan selambat-lambatnja pada tanggal 30 Desember 1949 Rantjangan Piagam Penjerahan Kedaulatan.

Di bidang militer memuat beberapa ketentuan

  1. Pembentukan APRIS dengan TNI sebagai intinya
  2. Pembubaran KNIL serta pemulangan Koninklijke Leger (KL) dan Koninklijke Miletaire (KM) ke negeri Belanda
  3. Pemasukan anggota KNIL kedalam APRIS
  4. Pengadaan misi militer Belanda di Indonesia untuk melatih APRIS

Pembentukan RIS

Sebagai tindak lanjut dari KMB, maka pada tanggal 27 Desember 1949 dilakukan upoacara penyerahan kedaulatan di 3 tempat secara bersamaan, yaitu :

  • di Den Haag (Belanda): penyerahan kedaulatan dari Ratu Yuliana kepada Drs. Moh. Hatta selaku wakil pemerintah RIS.
  • di Jakarta: penyerahan kedaulatan dari wakil pemerintah Belanda H.J. Lovink kepada wakil pemerintah RI Sri Sultan Hamengku Buwono IX
  • di Yogyakarta: penyerahan mandat dari Ir. Soekarno selaku Presiden RIS kepada Mr. Asaat selaku Pejabat Sementara Presiden RI

Sejak tanggal 27 Desember 1949 terbentuklah pemerintahan RIS yang terdiri dari 17 Negara bagian (salah satunya adalah RI di Yogyakarta) dan beribu kota di Jakarta, serta menggunakana Konstitusi RIS 1949. Sedangkan RI di Yogyakarta tetap menggunakan UUD 1945.Tanggal 27 Desember 1949, pemerintahan sementara negara dilantik. Soekarno menjadi Presidennya, dengan Hatta sebagai Perdana Menteri membentuk Kabinet Republik Indonesia Serikat. Indonesia Serikat telah dibentuk seperti republik federasi berdaulat yang terdiri dari 16 negara yang memiliki persamaan persekutuan dengan Kerajaan Belanda.

Untuk materi lebih lengkap tentang PERUNDINGAN-PERUNDINGAN DALAM RANGKA MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN silahkan kunjungi link youtube berikut ini. Kalau bermanfaat jangan lupa subscribe, like dan share.. Terimakasih

No Comments