Perekonomian pada masa Demokrasi Liberal
|Pada tahun 1945-1950, terjadi perubahan sistem pemerintahan dari presidensil menjadi parlemen. Dimana dalam sistem pemerintahan presidentil, presien memiki fungsi ganda, yaitu sebagai badan eksekutif dan merangkap sekaligus sebagai badan legislatif. Era 1950-1959 ialah era dimana presiden Soekarno memerintah menggunakan konstitusi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950, dimana periode ini berlangsung dari 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959..
Sejak 17 Agustus 1950, Negara Indonesia diperintah dengan menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 yang menganut sistem kabinet parlementer. Selama masa demokrasi parlementer periode 1950-1959 menampakkan belum stabilnya situasi politik. Hal ini berakibat belum stabilnya perekonomian Indonesia. Demokrasi Parlementer di mulai Kabinet Hatta III dengan kondisi perekonomian yang lemah. Defisit dialami Negara waktu itu sejumlah Rp 5,1 milyard (Merdeka No. 1365: 1950). Dibidang moneter terjadi inflasi. Cara menanggulangi dan meningkatkan perekonomian di Indonesia pada awal penerapan Demokrasi Liberal antara lain:
Gunting Syarifudin
Kebijakan untuk mengatasi inflasi dibuat kebijakan baru oleh Menteri keuangan Syarifudin Prawiranegara, oleh karena itu terkenal dengan sebutan Gunting Syarifuddin. Dengan kebijakan ini uang yang bernilai 2,5 gulden ke atas di potong jadi dua. Dari pemotongan nilai ini mata uang di tetapkan bahwa yang berlaku dan bernilai hanya separo dari mata uang itu.
Penanaman modal asing di Indonesia.
Karena usia relative muda tentu saja belum mempunyai kemampuan untuk menangani perusahaan dengan biaya dan usaha sendiri. Oleh sebab itu pemerintah membuka kesempatan kepada bangsa asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Investasi diperoleh dari Exim Bank Washington dan Marshal Plan. Selain itu juga diperoleh dari Inggris dan Belanda. Investasi ini merupakan sisa-sisa pemerintahan colonial yang dipercayakan kepada lima besar perusahaan. Kelima perusahaan ini ialah Borsumij, Internatie, Jacobson Van den Berg, Geo Wehry, dan Lindeteves. Kelima perusahaan tersebut terus berkuasa sejak pemerintahan kolonial Belanda sampai masa pemerintahan demokrasi parlementer. The Big Five menguasai investasi dalam bentuk perkebunan penghasil barang-barang ekspor seperti karet, tebu, kelapa sawit, tembakau, kopi, dan teh.
Politik Ekonomi Benteng.
Pada awal bulan April 1950, menteri kemakmuran Ir. Djuanda mengumumkan suatu system proteksi yang bertujuan untuk melindungi pengusaha pribumi terhadap persaingan ekonomi asing. Mulai saat itu politik ekonomi benteng digunakan sebagai dasar kebijaksanakan ekonomi pemerintah. Pola pelaksanaan politk ekonomi benteng diawali dengan mengelompokkan pengusaha-pengusaha nasional Indonesia ke dalam kelompok benteng. Para pengusaha yang terorganisir dalam kelompok benteng ini diberi keluasan kerja dan kebebasan berusaha dengan member perlakuan istimewa kepada mereka. Keistimewaan yang diberikan antara lain berupa kemudahan dalam memperoleh lisensi dan kredit modal tambahan. Politik ekonomi benteng merupakan system proteksi yang bertujuan memberikan perlindungan kepada pengusaha nasional pribumi agar dapat bersaing dengan pengusaha Tionghoa. Politik ekonomi benteng melibatkan pengusaha pribumi, pengusaha Tionghoa, dan pemerintah. Inti tujuan politik benteng adalah:
- Melindungi pengusaha nasional terhadap persaingan asnig
- Mengurangi ketergantungan terhadap kekuatan ekonomi asing
- Sebagai usaha untuk mempercepat nasionalisasi ekonomi.
Ketiga tujuan ini merupakan konsep yang terkandung dalam kebijaksanaan pemerintah yang terkenal dengan Politik Ekonomi Benteng. Ketiga konsep pada intinya merupakan perwujudan ekonomi nasional. Kekuatan asing yang di maksud adalah Belanda dengan struktur ekonomi yang ditinggalkannya melibatkan sebagian besar para pengusaha Tionghoa. Langkah awal pelaksanaan politik ekonomi benteng dengan mengelompokkan pengusaha-pengusaha nasional Indonesia ke dalam kelompok benteng. Kriteria untuk dapat dimasukkan dalam kelompok benteng antara lain seorang pengusaha nasional pribumi, mempunyai perusahaan sendiri atau patungan, modal kerja minimal Rp 100.00, mempunyai kantor sendiri dan memperkerjakan beberapa pegawai tetap.
Pola kerja politik ekonomi benteng identik dengan system patron-klien. Penerapan system politik patron klien dalam pola kerja politik ekonomi benteng dilihat bahwa pemerintah sebagai penguasa, memiliki kekuasaan untuk membuat peraturan-peraturan untuk kelancaran usaha pemilik modal. Hubungan antara pemerintah dengan pemilik modal (pengusaha atau rakyat) merupakan kerjasama yang saling menguntungkan. Pemerintah hanya akan memperlancar usaha si pemilik modal. Sementara itu, pemilik modal usahanya semakin maju.
Adanya Rencana Urgensi Perekonomian (RUP).
Program baru ini dibuat pada waktu Kabinet Natsir di bidang ekonomi yang intinya merupakan kelanjutan dari politik ekonomi banteng. Program baru ini merupakan ide dari Menteri Perdagangan dan Industri Dr. Soemitro Djojohadikusumo. Dikeluarkannya RUP memberi arah pembangunan khususnya pembangunan ekonomi yang didasarkan pada politik ekonomi benteng. RUP berisi program-program yang sifatnya nasionalistis. Program tersebut antara lain usaha memperbesar produksi nasional dan pemberian fasilitas bank khususnya diberikan kepada pengusaha nasional pribumi.
Nasionalisasi Ekonomi. Politik ekonomi benteng dan RUP merupakan usaha nasionalisasi untuk secepatnya mengubah ekonomi colonial menjadi ekonomi nasional. Dalam nasionalisasi ekonomi, pemerintah berusaha mengambil alih perusahaan-perusahaan swasta yang pada masa itu banyak dikuasai orang-orang Cina dan Belanda. Usaha nasionalisasi terus dilakukan tetapi pada kenyataannya Indonesia belum bisa lepas dari bantuan asing. Oleh karena itu kerjasama dengan bangsa lain masih terus di lakukan terutama untuk sector yang belum mampu ditangai banggsa Indonesia.
Mengeluarkan Sertifikat Deviden.
Realisasi usaha pemerintah dalam rangka mewujudkan tujuan politik ekonomi benteng dengan mengeluarkan beberapa peraturan di sector ekspor impor. Sertifikat ini di keluarkan oleh Lembaga Alat Pembayaran Luar Negeri (LP3A). Peraturan ini menetapkan adanya biaya tambahan untuk mengimpor barang-barang disamping biaya pembayaran Surat Bukti lain yaitu Surat Bukti Indudement (IB). Peraturan ini member kesempatan kepada importir untuk memasukkan jenis barang dalam jumlah besar
Untuk materi lebih lengkap tentang PELAKSANAAN DEMOKRASI LIBERAL DI INDONESIA silahkan kunjungi link youtube berikut ini. Kalau bermanfaat jangan lupa subscribe, like dan share.. Terimakasih
Thanks for the information. Very helpful 🙂