Konflik Kamboja
|Tahun 1960an di dalam tubuh Kamboja terdapat konflik yang melibatkan 3 pihak yakni Khmer merah yang didukung RRC, gerilyawan non-komunis yang mendapat dukungan dari Amerika, serta Rezim Phnom Penh yang mendapat batuan dari Vietnam. Namun kelompok yang paling radikal yang mendalangi berbagai aksi revolusioner yakni Khmer merah. Konflik Kamboja semakin rumit dikarenakan banyak intrvensi asing yang berkepentingan.
Khmer Merah sendiri merupakan kelompok Maoist yang berkeinginan melakukan revolusi komunis di Kamboja melalui perjuangan bersenjata. Strategi Maoist dilakukan dengan menguasai teritorial pedesaan melalui agitasi dan propaganda mereka untuk kemudian melancarkan insureksi di kota, di pusat kekuasaan.
Pada awalnya, gerakan ini mendapat simpati yang cukup luas dari kaum muda, khususnya kelompok mahasiswa yang kritis, yang sudah muak dengan keadaan Kamboja saat itu, pada masa kepemimpinan Lon Nol yang dinilai korup. Gabungan romantisme anak muda ditambah daya pikat ideologi Maoisme yang menjanjikan keadilan ekonomi bagi seluruh rakyat menyebabkan Khmer Merah berkembang menjadi satu kelompok politik yang dominan.
Banyak analis berspekulasi killing field yang terjadi di Kamboja, khususnya ketika Khmer Merah menggiring kelompok profesional, pengusaha, dan intelektual, dan masyarakat perkotaan pada umumnya untuk bekerja di pedesaan.Beberapa kelompok di Kamboja lebih berorientasi ke Vietnam dan Rusia sementara Khmer Merah yang dipimpin Pol Pot dengan aliran Maoist-nya lebih berorientasi ke Cina.
Kondisi politik inilah yang memicu perang saudara berkepanjangan di Kamboja. Apalagi kemudian kekuatan-kekuatan blok Barat seperti Amerika turut bermain memperkeruh konflik yang ada. Dilatar belakangi oleh banyaknya perpecahan dalam tubuh Kamboja beserta ikut campurnya Bangsa barat dalam hal ini Amerika yang mendukung rezim non-komunis dan bertujuan menghalangi masuknya pengaruh Komuis Vietnam disana, terjadilah banyak konflik yang mengakibatkan terjadinya Kudeta militer yang disusupi dengan perang ideology.
Latar belakang konflik Kamboja
Tahun 1954 , setelah Perancis meninggalkan Indochina. Raja Norodom Sihanouk mengadakan pemilu dan membentuk partai politik. Melalui intimidasi dan menggunakan popularitasnya, dia berhasil mengusir orang-orang komunis dan memperoleh seluruh kursi pemerintahan. Pol Pot lari ke persembunyian dan melatih anggota yang direkrutnya.Akhir 1960an memulai pemberontakan bersenjata terhadap pemerintah dengan dukungan Tiongkok.
Tahun 1970 Sihanouk beralih ke pihak Pol Pot karena dijatuhkan Jendral Lon Nol yang didukung Amerika Serikat. Ketika Lon Nol berkuasa 20 tahun silam, lewat penggulingan Sihanouk, mereka dijanjikan akan bisa hidup lebih tenteram dan sejahtera. Dunia Barat, terutama AS, juga lega karena Sihanouk dianggap condong ke Beijing dan Vietnam Utara. Yang terjadi, Lon Nol ternyata memerintah dengan tangan besi.
Untuk menghadapi Viet Kong Di era 1970-an, Richard Nixon dan penasihat pertahanannya Henry Kissinger memerintahkan bombardemen di wilayah Kamboja yang menewaskan 750 ribu orang Kamboja yang diperkirakan sebagai pendukung Vietkong. Tidak cukup dengan aksi karpet bom, Amerika juga menggunakan Pol Pot untuk menghadapi gerilyawan Vietkong dan para pengikutnya yang menyusup ke wilayah Kamboja. Kemudian tahun 1973 – Pihak Vietkong meninggalkan Kamboja.
Karena pemerintahan Lon Nol yang bertangan besi dianggap menyengsarakan rakyat, Partai Komunis Kamboja mengambil alih kekuasaan. Lon Nol melarikan diri ke AS.Tahun 1975 – Sihanouk kembali berkuasa namun mulai ditinggalkan rekan-rekannya yang komunis, yang tidak tertarik dengan pengembalian monarki.
Setahun kemudian Sihanouk ditumbangkan oleh Khmer Merah yang menjanjikan sosialisme akan membuat rakyat menjadi tuan di rumah sendiri. Hasilnya, “Demi kemurnian ideologi,” mereka dibantai. Sepuluh tahun lalu, pasukan Vietnam datang. Pecahlah perang saudara berkepanjangan. Pihak ketiga pun ikut beraksi. RRC muncul sebagai pendukung Khmer Merah, AS di belakang para gerilyawan nonkomunis, Vietnam menyokong rezim Phnom Penh, dan Muangthai memberi tempat bagi basis-basis militer para gerilyawan.
Pada awal 1976 pihak Khmer Merah menahan Sihanouk dalam tahanan rumah. Pemerintah yang ada saat itu segera diganti dan Pangeran Sihanouk dilepas dari jabatannya sebagai kepala negara. Kamboja menjadi sebuah republik komunis dengan nama “Kamboja Demokratis” (Democratic Kampuchea) dan Khieu Samphan menjadi presiden pertama.
Pada 13 Mei 1976 Pol Pot dilantik sebagai Perdana Menteri Kamboja dan mulai menerapkan perubahan sosialis terhadap negara tersebut. Pengeboman yang dilakukan pihak AS telah mengakibatkan wilayah pedesaan ditinggalkan dan kota-kota sesak diisi rakyat (Populasi Phnom Penh bertambah sekitar 1 juta jiwa dibandingkan dengan sebelum 1976).
Saat Khmer Merah mendapatkan kekuasaan, mereka mengevakuasi rakyat dari perkotaan ke pedesaan di mana mereka dipaksa hidup dalam ladang-ladang yang ditinggali bersama. Rezim Pol Pot sangat kritis terhadap oposisi maupun kritik politik; ribuan politikus dan pejabat dibunuh, dan Phnom Penh pun ikut berubah menjadi kota hantu yang penduduknya banyak yang meninggal akibat kelaparan, penyakit atau eksekusi. Ranjau-ranjau darat (oleh Pol Pot mereka disebut sebagai “tentara yang sempurna”) disebarkan secara luas ke seluruh wilayah pedesaan.
Pada akhir 1978, Vietnam menginvasi Kamboja. Pasukan Kamboja dikalahkan dengan mudah, dan Pol Pot lari ke perbatasan Thailand. Pada Januari 1979, Vietnam membentuk pemerintah boneka di bawah Heng Samrin, yang terdiri dari anggota Khmer Merah yang sebelumnya melarikan diri ke Vietnam untuk menghindari penmbasmian yang terjadi sebelumnya pada 1954. Banyak anggota Khmer Merah di Kamboja sebelah timur yang pindah ke pihak Vietnam karena takut dituduh berkolaborasi. Pol Pot berhasil mempertahankan jumlah pengikut yang cukup untuk tetap bertempur di wilayah-wilayah yang kecil di sebelah barat Kamboja. Pada saat itu, Tiongkok, yang sebelumnya mendukung Pol Pot, menyerang, dan menyebabkan Perang Tiongkok-Vietnam yang tidak berlangsung lama. Pol Pot, musuh Uni Soviet, juga memperoleh dukungan dari Thailand dan AS. AS dan Tiongkok memveto alokasi perwakilan Kamboja di Sidang Umum PBB yang berasal dari pemerintahan Heng Samrin. AS secara langsung dan tidak langsung mendukung Pol Pot dengan menyalurkan bantuan dana yang dikumpulkan untuk Khmer Merah.
Jumlah korban jiwa dari perang saudara, konsolidasi kekuasaan Pol Pot dan invasi Vietnam masih dipertentangkan. Sumber-sumber yang dapat dipercaya dari pihak Barat menyebut angka 1,6 juta jiwa, sedangkan sebuah sumber yang spesifik, seperti jumlah tiga juta korban jiwa antara 1975 dan 1979, diberikan oleh rezim Phnom Penh yang didukung Vietnam, PRK. Bapa Ponchaud memberikan perkiraan sebesar 2,3 juta—meski jumlah ini termasuk ratusan ribu korban sebelum pengambil alihan yang dilakukan Partai Komunis. Amnesty International menyebut 1,4 juta; sedngkan Departemen Negara AS, 1,2 juta. Khieu Samphan dan Pol Pot sendiri, masing-masing menyebut 1 juta dan 800.000.
Dampak konflik Kamboja
Dampak politis yang mengemuka dari konfrontasi antara Khmer merah melawan Vietnam ini tentunya adalah Perang Kamboja-Vietnam Konflik ini juga mengemukakan bagaimana perpecahan yang terjadi antara Tiongkok-Soviet telah merusak pergerakan komunis. Partai Komunis Vietnam memihak dengan Uni Soviet, sementara Partai Komunis Kamboja tetap setia dengan Republik Rakyat Cina.
Dampak Politis yang kedua yakni timbulnya konfrontasi antara China dan Vietnam awalnya china mendukung vietnam pada saat perang melawan Amerika serikat.Namun setelah perang Vietnam berakhir kamboja yg komunis juga diserbu oleh Vietnam. RRC yang mengetahui hal tersebut marah, karena RRC mendukung rezim khmer milik PolPot(kamboja). Kemudian vietnam diserbu oleh RRC.
Selain hal itu Amerika yang juga memiliki dendam tersendiri dengan Vietnam akhirnya juga ikut membantu Pol pot, walaupun pada awalnya mereka melawan kelompok tersebut. Akan tetapi demi mencegah pengaruh Rusia masuk lewat Vietnam akhirnya Amerika ikut mendukung rezim Polpot tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan, Margaret Thatcher, Jimmy Carter, dan Ronald Reagan tetap mendukung rezim tersebut walaupun sudah jatuh. Bahkan, Cina menyumbangkan senjata untuk Polpot pada dekade 80-an. Karena inilah genosida di Kamboja tetap terpendam selama hampir 20 tahun. Khmer Merah pun tetap berdiri sampai 1992, diakibatkan terlalu banyak pihak yang terlibat di dalamnya.