Komposisi Penduduk Surakarta pada Zaman Belanda

PasarGedePenduduk karesidenan Surakarta pada tahun 1930 adalah: penduduk pribumi 2.535.594 orang, warga Eropa 6.555 orang, dan Timur Asing 2.600 orang, jumlah 2.564.594 orang. Untuk kota Surakarta sendiri: penduduk pribumi 149.585 orang, Eropa 3.225 orang, Cina 11.286 orang da Timur Asing 1.388 orang, jumlah semua 165.484 orang. Golongan Eropa yang terdiri atas 3.225 orang, 95% adalah orang-orang Belanda, dengan perincian terdiri atas Belanda Totok (londo totok), Belanda Indo (londo indo) dan londo Ambon untuk panggilan orang-orang Ambon yang bekerja, yang pada umunya menjadi tentara Belanda.

Orang-orang Belanda berkumpul di Lojiwetan dan sekitarnya,yaitu daerah yang terletak di sebelah selatan kali-pepe, kali yang membelah kota menjadi dua. Mereka bertempat tinggal disekitar benteng Belanda, benteng Vastenberg, mungkin karena merasa lebih aman. Mereka memliki gereja sediri yang letaknya di Gladak, depan benteng. Disampingnya berjejer rumah-rumah orang kaya Belanda, Rade Maker, Javasche Bank, kantor Residen. Ada sekelompok orang-orang Belanda yang tinggal di daerah Mangkoenegaran, mereka berkumpul di Vila-park (Banjarsari). Belanda juga ada yang bekerja di onder-neming, gula atau tembakau, tinggalnya dikomplek onder-neming (R.M Karno, 1990: 115-116).

Golongan Timur-asing terdiri atas Arab, India dan Pakistan. Biasanya orang-orang India dan Pakistan memiliki toko-toko dengan berjualan bahan pakaian. Mereka tinggal di toko-tokonya sendiri. Orang-orang Arab berkumpul di pasar-kliwon dan sekitarnya yaitu diseberang selatan rel kereta api yang membelah Surakarta. Usaha mereka umumnya dibidang industri kain batik, biasanya dikerjakan dirumahnya sendiri. Golongan ini umumnya tertutup, tidak suka bergaul dengan golongan lain. Rumah-rumahnya dikelilingi pagar tinggi dan tertutup rapat. Mereka juga memiliki  masjid sendiri di pasar Kliwon. Sedangkan orang-orang Cina berkumpul diseberang utara kali-Pepe, yaitu Balong, Warungmiri, dan di daerah-daerah sekitar Pasar Gedhe. Kedatangan orang-orang Tionghoa semula sebagai pendatang, dan mula-mula hanya pedagang kecil-kecil saja (R.M Karno, 1990: 116-118).

Perkampungan untuk penduduk bumiputera terpencar di seluruh kota. Beberapa di antaranya disebut menurut nama pangeran yang mendiami tempat itu antara lain Adiwijayan, Mangkubumen, Jayakusuman, Suryabratan, Kusumabratan, Sumadiningrat, Cakranegaran dan termasuk nama kampung Kalitan yang mengikuti nama Kandjeng Ratu Alit, putri sulung Sunan Paku Buwono X yang lahir dari priyantun dalem atau selir. Disamping itu terdapat pula kampung-kampung yang disebut menurut abdi dalem yang pangkatnya lebuh rendah, antara lain Secayudan, Derpayudan, Nonongan, Mangkuyudan, Selakerten yang disingkat menjadi Kerten dan Jamsaren (R.M Sajid, 1984: 60-64).

Penduduk pribumi ditemukan dalam berbagai kelompok dan kampung yang tidak teratur diseluruh kota, kebanyakan di antaranya mencari nafkah dari industri batik dan berbagai macam kerajinan tangan. Yang juga tersebar di seluruh kota adalah tempat para pangeran dan pegawai puri yang terkemuka (George D. Larson, 1990: 23).

Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *