Kesedihanmu
|Dikala senja ketika matahari mulai pergi meninggalkan diri. Ketika berkas-berkas cahaya alami bergantian dengan terangnya lampu jalanan. Saat siang beranjak tergantikan oleh malam. Saat ini manusia mulai sejenak meninggalkan rutinitas pekerjaan. Cahaya kamar yang redup, seakan pertanda sebuah kelelahan. Setelah beraktivitas seharian berbalutkan peluh keringat mengukir sisa mimpi yang masih bisa untuk digapai. Sejenak membaringkan raga yang sudah mulai menua. Sejenak berhenti untuk memikirkan dunia, untuk bisa manunggal dengannya.
Oh ya sorry Yanindra. Kalau aku mulai ingatan memoriku tentang masa lalu dengan kalimat yang rancu tersebut. Memang terkesan lebay atau mungkin alay, Yanindra. Lebih baik sadar diri kalau ternyata dirinya lebay, daripada nggak sadar kalau dirinya lebay malah menghina kelebay’an orang lain. Kebanyakan orang mengatakan seperti itu, tapi ya nggak apa-apa, aku sudah kebal dengan hinaan dan cacian. Bukankah itu biasa-biasa saja, Yanindra??? Lha wong anggota wakil rakyat saja memakai jam mewah harganya ratusan juta saat kemiskinan melanda bumi nusantara, yo biasa-biasa saja. Ngomong-ngomong jam tangan, dulu pernah ada seorang dedek gemes yang menghadiahkannya saat aku ulang tahun, Yanindra.
Sore itu aku baru sampai kamar kos, ketika hapeku berbunyi. Ternyata panggilan telponku itu dari kamu, Yanindra. Untuk apa Yanindra kamu meneleponku? Jarang sekali lho kamu melakukan itu, mesti ada hal besar yang sedang kamu alami. Mesti kamu sedang membutuhkan bantuanku. Nggak butuh waktu lama, langsung saja aku angkat telpon itu. Nggak perlu berpikir berbelit, apakah ini menguntungkan bagiku atau tidak. Selama ini orang hanya berpikir untuk dan rugi.
“Om sekarang bisa ke kos nggak??? Aku butuh bantuanmu”
Nggak perlu berpikir panjang dan beribet, aku langsung menjawabnya “Ok Yanindra, tunggu lima menit ya”. Seandanyai para pejabat itu bisa sepertiku, saat wong cilik membutuhkan bantuan mereka langsung datang, bukankah mereka akan semakin dicintai oleh rakyatnya ya Yanindra. Jangan seperti para polisi yang ada film-film itu, Yanindra, datangnya selalu terlambat. Padahal aku belum menanyakan apa yang bisa dibantu dari seorang gembel seperti aku. Kalau menguatkan nilai rupiah, mesti itu nggak mungkin. Kalau membantumu untuk mempersiapkan Pilkada serentak, aku nggak bisa. Apalagi kalau untuk memadamkan api di daerah sumatera, mana mampu. Tapi kalau untuk mengobarkan cinta di hatimu, mungkin itu aku bisa, Yanindra.
Saat kamu keluar dari kosmu, dengan berlinang air mata, ada perasaan ganda yang ku rasakan, Yanindra, antara sedih dan senang. Itu bukan berarti aku bermuka dual ho Yanindra, itu suatu kondisi yang sering dialami oleh manusia, kondisi dilematis. Aku sedih karena melihat gadis secantik kamu meneteskan air mata. Duka apa yang membuatmu hingga seperti itu. Apa gara-gara kamu menangisi kondisi negeri ini, Yanindra? Ku rasa bukan masalah itu. Kalau boleh, aku ingin mengusap air mata mu dengan menggukan jariku. Air mata yang menetes di pipimu, kalau boleh, biarlah tangan-tanganku ini yang mengeringkannya. Jangan menggunakan tissu, kalau itu merupakan produk luar negeri, mulai kurangi pemakaian produk luar negeri, Yanindra. Pakailah jari jemariku ini saja.
Senangnya, aku bisa melihat gadis yang ku puja selama ini. Walaupun kamu menangis, tapi kecantikanmu itu nggak luntur kok Yanindra. Kamu masih tetap saja cantik, meski air mata menuruni pipimu yang mulus itu. Aku masih ingat waktu itu kamu mengenakan baju berwarna hitam dengan setelan celana jeans. Terlihat elegan, Yanindra. Tapi sayangnya, kenapa kamu menangis, Yanindra. Aku nggak ingin kamu menangis dan bersedih. Walaupun kondisi negeri ini selalu mengalami prahara, tapi kamu harus tetap optimis, Yanindra. Selama orang-orang baik masih ada, perubahan menuju ke arah yang lebih maju bukan sekedar impian belaka.
Oh ternyata sebabnya itu Yanindra.
Ikan hias peliharaanmu mati. Itu yang membuatmu menjadi bersedih seperti ini. Kamu bersedih karena ikan hiasmu mati, padahal tadi pagi sebelum berangkat kerja, kamu masih memberikannya makan. Terus kamu lebih bersedih lagi, saat mau menguburkan ikan itu ternyata sudah tidak ada lagi lahan kosong yang bisa dijadikan kuburan. Tanah-tanah yang dulu kosong sekarang sudah menjadi mal-mal berukuran besar. Lapangan yang dulu bisa untuk bermain sepak bola kini sudah berganti menjadi apartemen. Tanah yang dulunya bisa untuk berkotor-kotoran kini sudah dilapisi dengan cor semen. Maka kesedihanmu semakin menjadi, aku mengerti itu Yanindra. Aku memahami apa yang kamu rasakan. Perubahan yang terlah terjadi memakan korbannya.
Terus kita kuburkan di mana ikan itu Yanindra? sejenak aku berpikir di mana negeri ini masih ada lahan kosong. Bukan, bukan untuk membuat penjara khusus bagi pelaku korupsi, melainkan untuk mengubur ikanmu tadi Yanindra. Pelaku korupsi itu biarkan saja hidup di sekitar kita saja, yang penting kita nggak ketularan untuk mengikuti tindakannya. Kalau kita penjarakan semua orang yang terlibat tindakan korupsi, malah bumi ibu pertiwi menjadi sepi.
Kalau ada sumur tua seperti di desa Lubang Buaya, mesti bangkai itu akan aku masukkan ke dalamnya, Yanindra. Biar nanti bercampur dengan arwah para petinggi militer Indonesia. Sumur mau itu menyimpan banyak jenderal, yang katanya diculik, disiksa kemudian di masukkan kedalam sumur tua dan ditutup pohon pisang. Sekarang sumur itu dijadikan sebagai museum Pancasila sakti, Yanindra. Jadi nggak boleh kalau ikan kesayanganmu itu aku kebumikan di sana, apalagi di Taman Kalibata.
Akhirnya ketemu tempat untuk memakamkan ikanmu itu Yanindra. Dekat sebuah reklame di pertigaan kampus itu terdapat sedikit tanah yang belum dipaping. Nah di tempat itu kamu menguburkan ikanmu tadi. Aku yang menggalikan tanah untuk si ikan beristirahat selamanya. Dilapisi oleh sebahh brosur entah apa, akhirnya ikan itu kita timbun ke dalam lubang yang tidak begitu dalam. Aku melihat rona dimatamu berisikan kesedihan, Yanindra. Yaudah kapan-kapan kalau kamu ulang tahun, akan aku belikan ikan hias. Mumpung negara kita lagi menggalakan program dibindang kemaritiman.
Kemarin aku lewat di pertigaan itu, Yanindra. Di tempat kita menguburkan ikan itu ternyata sekarang sudah dijadikan taman.