Keluarnya NU dari Masyumi

masyumiPada Pemilu tahun 1955 keluarlah empat partai pemenang pemilu yaitu Partai Nasional Indonesia, Majelis Syuro Umat Muslim Indonesia (Masyumi), Nadhatul Ulama (NU) dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada pemilu tersebut terdapat dua partai besar bernafaskan agama yaitu islam. Dua partai tersebut adalah Masyumi dan NU. Pada awalnya dua partai tersebut merupakan satu kesatuan yaitu hanya ada Masyumi yang merupakan kelanjutan dari MIAI yang dipimpin oleh KH. Mas Mansur pada zaman pendudukan Jepang.

Pada bulan mei 1952, dengan resmi NU menyatakan keluar dari Masyumi, ada beberapa penyebab yang mengakibatkan NU keluar dari Masyumi, yaitu: Masyumi adalah partai islam terbesar di Indonesia di awal kemerdekaan. Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) merupakan federasi dari golongan dan partai Islam terbesar di Indonesia. Diawal kemerdekaan tahun 1945 terdapat friksi perpecahan di tubuh partai ini. Salah satunya adalah nampak bahwa kepentingan golongan lebih diutamakan dibandingkan persatuan organisasi, terutama ketika menghadapi daya tarik posisi politik formal di dalam negara. PSII adalah kelompok yang pertama keluar dari Masyumi yaitu pada bulan Juli 1947. Menurut Boland dalam bukunya “Pergumulan Islam di Indonesia”, alasan PSII keluar dari Masyumi tidak jelas, namun menurut sebuah artikel di “Freedom Institute” PSII keluar karena ingin mendapatkan portofolio menteri di Kabinet Amir Sjarifudin I (1947-1948). Pada saat itu memang Masyumi mengambil sikap oposisi terhadap kabinet pemerintah akibat tidak menyetujui perjanjian Linggarjati.

Pada setiap kabinat PSII selalu mendapatkan jatah menteri dari Perdana Menteri. Misalnya saja pada kabinet Amir Sjarifudin I (3 Juli 1947 sampai dengan 11 September 1947), PSII mendapatkan jatah 4 menteri : Demikian pula ketika kabinet Amir Sjarifudin II dibentuk (11 September 1947 sampai dengan 29 Januari 1948), PSII pun mendapat jatah 4 menteri. Menariknya di kabinet Amir Sjarifudin II ini Masyumi masuk kembali ke dalam kabinet . Masuknya dua unsur kelompok Islam inilah yang menjadi salah satu sebab Nahdhatul Ulama (NU) keluar dari Masyumi. Karena sesuai dengan kesepakatan bersama bahwa hanya boleh ada satu partai politik Islam yang tampil di kabinet.

Keputusan keluarnya NU dari Masyumi dinyatakan dengan resmi pada kongres NU bulan Mei tahun 1952 di Palembang. Selain meninggalkan Masyumi, NU juga memproklamasikan dirinya sebagai partai, yang berarti meninggalkan wajah “Jam’iyyah”nya (baru ketika masa orde baru NU menyatakan kembali ke “khittah” tahun 1926). Beberapa sebab “mufaraqah”nya NU dari Masyumi :
Pertama
Pimpinan Pusat (PP) Masyumi dinilai telah didominasi oleh kelompok Modernis. Sedangkan orang-orang NU, masih terdapat islam warisan dari para Sunan yang dianggap telah termodifikasi dengan unsur Jawa. Basis pendukung NU adalah orang-orang yang ada di Pesantren. Diantara 17 orang PP Masyumi tahun 1949 ternyata hanya 6 orang berpendidikan pesantren. Dan jumlah itu selalu menngalami penurunan. Dengan tidak adanya tempat bagi NU ini, meyebabkan NU kelura dari Masyumi.
Kedua
keinginan NU sendiri untuk mandiri dalam berpolitik. NU tergoda terhadap kekuasaan politik waktu itu. Muncul tokoh-tokoh politik yang semakin pesat dengan jumlah basis NU yang semakin luas sehingga NU membutuhkan wadah yang baru untuk menampung aspirasi politiknya. NU sebagai salah satu partai Islam yang cukup diperhitungkan pada waktu itu telah merapat ke pemerintahan. Berbeda dengan Masyumi, NU lebih akomodatif terhadap pemerintah sehingga keberadaannya lebih ‘aman’ di hadapan penguasa.
ketiga
Moh Natsir merupakan seorang ulama yang berlatar belakang Persis, terpilih menjadi ketua umum Masyumi (1949-1958). Dengan latar belakang Islam modern yang kuat, ia sulit diterima oleh kultur budaya pesantren tradisional. Hal ini memungkinkan para kyai dari fraksi NU terganggu oleh kehadiran Natsir.
Keempat
Posisi majelis syura Masyumi yang umumnya diduduki oleh kyai NU, maka sejak kongres tahun 1949 hanya dijadikan Dewan Penasihat. Majelis Syura tak lagi diperlakukan sebagai badan pemberi kata akhir (legislatif) pada kebijakan politik partai.
Kelima
Pada tahun 1952, kabinet Wilopo (PNI) sebagai pengganti kabinet Soekiman menunjuk KH. Faqih Usman dari Muhammadiyah sebagai Menteri Agama, satu-satunya kursi yang selalu diberikan kepada NU. Dalam konteks ini, terlihat bahwa pimpinan dari kalangan modernis kurang peka membaca perasaan kaum pesantren. Kesenjangan psikologis antara dua sub-kultur akhirnya diperparah oleh sikap dan ambisi politik.

nuMeskipun secara resmi NU telah keluar dari Masyumi namun kemelut yang terjadi tidak mereda, bahkan di beberapa daerah terjadi makin intens. Tuduhan dari kalangan Masyumi bahwa NU keluar dari Masyumi akan mendirikan darul-Islam dengan alasan Kartosuwirjo dahulu keluar dari Masyumi untuk mendirikan DI (Darul-Islam) dirasakan sebagai pukulan berat oleh NU sampai NU mengusahakan lewat Jaksa Agung agar menghentikan provokasi tersebut.

Kemelut antar partai-partai Islam sendiri, khususnya antara Masyumi dan NU, cukup merepotkan masing-masing pihak. Serang menyerang antara para orator juru kampanye betapapun tidak menguntungkan perjuangan Islam. Akibatnya memang dirasakan sampai ke tingkat pengambilan keputusan politik, baik di daerah maupun di pusat. Kerenggangan pun tidak bisa dihindari. Dalam banyak hal keputusan politik yang mestinya digalang bersama antar partai-partai Islam, malah justru bercerai, tidak bersatu.

Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *