Kami, Petani Miskin dan Bodoh
|Kami itu petani kecil yang mlarat. Hidup kami diselimuti dengan kemiskinan dan kebodohan. Bung Karno bilang kalau kami itu Marhein. Kami bekerja dari pagi hingga sore untuk mencari rezeki. Membanting tulang yang keras, memeras keringat untuk demi penghidupan yang lebih baik. Tak terbesit dalam benak kami untuk korupsi apalagi untuk mengikuti tax amnesty. Kami pun berhasrat untuk memiliki banyak rezeki tapi tak sampai hati untuk menggandakan uang di padepokan yang tak jelas siapa itu kyai.
Kami itu petani kecil yang diselimuti oleh kemiskinan. Makan dengan lauk pauk ikan asin dan sambal sudah menjadi keseharian. Kalau mau makan ayam kami harus menunggu lebaran, kalau tidak saat lebaran, kami bisa makan ayam kalau ayam kami terjangkit penyakit dan akan mati. Bukannya kami tidak takut sama penyakit, bukannya kami sudah siap untuk ikut-ikutan mati, tapi daging ayam adalah hal yang special dalam kehidupan. Kami tidak bisa setiap hari untuk makan enak, karena kami masih bingun besok bisa makan atau tidak. Saat musim kemarau tiba, ketika sawah kami tidak bisa menghasilkan padi, kami hanya bisa makan ketela, jagung hingga ubi.
Kami itu petani kecil yang dari zaman Orde Baru hingga Orde Reformasi tidak pernah beranjak dari tempat kami, lembah kemiskinan. Berbagai kebijakan yang ada dari dulu hingga sampai saat ini belum bisa mengangkat kami untuk hidup lebih berarti. Berangkat pagi ke ladang, sang hari pulang untuk sekedar makan siang dan merebahkan badan, sore kembali mengais ngais rezeki di alam. Malah ada beberapa dari kami yang tidak pulang ke rumah melainkan tiduran di gubuh sederhana yang beratapkan ilalang atau nggak di bawah pohon yang rindang. Kami tidak hanya bisa duduk duduk santai, hari minggu liburan ke pantai, hari libur kamu bisa berpuas tidur, itu tidak bisa kami lakukan karena kami adalah petani kecil yang miskin.
Kami itu petani kecil yang dari dulu hingga sekarang masih miskin. Rumah kami hanya beralaskan tanah, berdinding kayu yang tertata kurang rapi. Kami tidak memiliki lantai marmer yang bisa untuk kami berkaca saking mengkilatnya. Kami tidak memiliki tembok yang bisa untuk bersandar ketika lelah. Kalau kami ingin berkaca ya dengan air sungai yang mengalir selalu ke bawah. Kalau kami ingin bersandar saat lelah, kami tinggal mengambil air wudhu kemudian bersujud, karena kepada Tuhanlah kami bersandar.
Kami itu petani kecil yang bodoh. Ratar-rata kami hanya berpendidikan sampai sekolah dasar, malah ada juga dari kebanyakan kami yang tidak sekolah. Bukan apa-apa, dulu kami takut sekolah karena sekolah itu hanya menghabiskan uang, sementara itu uang yang kami miliki hanya pas-pasan, jangankan untuk membiayai sekolah, untuk hidup sehari-hari saja kami harus gali lubang tutup lubang. Jangankan bahasa Inggris, untuk mengucapkan bahasa Indonesia saja nenek-nenek kami tidak bisa. Orang-orang sepuh hanya bisa menggunakan bahasa Jawa, ngoko untuk cucu cucunya, dan krama untuk berbicara dengan orang-orang kaya.
Kami benar petani kecil yang bodoh, mudah ditipu oleh orang-orang pinter yang suka minteri. Lihat saja ketika mau tanam, harga benih dan pupuk melambung tinggi, tapi ketika panen hasil pertanian turun drastis. Jangan kan untuk bersenang-senang atau liburan, untuk makan keseharian itu saja harus pinter berhitung supaya kami tidak kehabisan uang sebelum panen selanjutnya datang. Biasanya kamu juga pada awal tanam meminjam hutang untuk modal pertanian. Kami jarang meminjam hutang ke bank, soalnya kami takut berurusan dengan para pegawai yang berbaju rapi. Kami lebih senang berhutang pada orang kaya di desa, meskipun dengan bunga yang berlipat ganda.
Kami itu petani kecil yang bodoh mudah diakali oleh para calon pejabat yang katanya mewakili rakyat. Mereka datang ke desa kami menjelang pemilu untuk berkampanye, agar kami memilih mereka. Mereka sangat perhatian kepada kami melalui janji janji manis, tutur kata yang tertata rapi seolah olah akan membawa lembaran hidup kami lebih sejahtera. Harga pupuk yang murah, benih murah, dan hasil pertanian yang tinggi, itu ibaratkan kata kata yang turun dari Surga. Membuat kami menjadi sangat bahagia. Sebelum hari pemilihan biasanya nanti kami diberikan kaos yang bertuliskan nama calon, nomor calon dan partai calon. Kami sangatlah senang, karena mereka memberikan kaos tanpa kami harus membeli, soalnya kami hanya bisa membeli kaos saat lebaran. Kao situ bisa kami gunakan sehari hari untuk pergi ke ladang.
Kami, selai mendapatkan kaos, juga diberikan uang yang jumlahnya kisaran 10.000-30.000. Mungkin bagi orang-orang yang kaya, uang itu untuk jajan anaknya sehari saja tidak cukup, tapi bagi kami uang segitu sungguh sangat besar, bisa digunakan untuk membeli lauk pauk berupa ikan asing dan dapat digunakan untuk berhari-hari. Apalagi kami mendapatkan uang itu tidak dengan bersusah payah membanting tulang dan memeras keringat. Kami tinggal pergi ke tempat pemilihan terus mencoblos calon yang memberikan uang kepada kami tadi. Kalau cuman mencoblos di lembar kerta yang bergambarkan calon itu bukanlah hal yang sulit, karena kami terbiasa mencoblos bumi kemudian menanaminya dengan tanaman pertanian. Mengenai nanti kalau mereka korupsi, itu urusan mereka dengan Tuhannya. Kami hanya menjalankan amanah agar memilih mereka.
Kami itu memang petani miskin yang bodoh, Yanindra.