Indonesia pada masa PM Ali Sastroamijoyo II
|Penunjukkan tim formatur untuk membentuk kabinet setelah Pemilihan Umum 1955 agar berbeda dengan sebelumnya. Setelah Pemilihan Umum 1955, Presiden Soekarno menunjuk partai pemenang pemilu sebagai pembentuk formatur kabinet. PNI yang ditunjuk Soekarno sebagai formatur kabinet mengajukan Ali Sastroamidjojo dan Wilopo calon formatur kabinet. Presiden Soekarno kemudian memilih Ali Sastroamidjojo. Kabinet yang terbentuk berintikan koalisi PNI, Masyumi dan NU.
Dalam pembentukan kabinet tidak ada kesulitan yang prinsipil. Koalisi yang terbentuk memunculkan pertanyaan mengapa PKI yang menduduki peringkat keempat pemilu tidak disertakan. Hal ini karena Masyumi menolak masuknya PKI dalam kabinet. Pada waktu formatur menyerahkan susunan kabinet kepada Presiden Soekarno untuk disetujui, Presiden tidak langsung menyetujui. Ia kecewa dengan susunan kabinet yang akan dibentuk yang tidak melibatkan PKI. Presiden menghendaki masuknya PKI dalam kabinet. Namun kehendak Presiden tidak bisa diterima oleh formatur karena susunan kabinet yang dibentuk merupakan hasil persetujuan dari partai-partai yang akan berkoalisi.
Menyikapi hal tersebut, Presiden Soekarno kemudian berusaha mendesak para tokoh partai PNI, Masyumi, NU dan PSII agar mau menerima wakil PKI atau pun simpatisannya untuk duduk dalam kabinet. Namun kehendak Presiden Soekarno tersebut tidak bisa diterima oleh tokoh-tokoh dari ketiga partai tersebut. Presiden Soekarno pun akhirnya menyetujui susunan kabinet yang telah disusun oleh tim formatur, dengan memasukkan Ir. Djuanda dalam kabinet. Pada tanggal 20 Maret 1956, kabinet koalisi nasionalis-Islam dengan Ali Sastroamijdojo selaku Perdana Menteri. Kabinet ini dikenal sebagai Kabinet Ali II (1956-1957).
Program kabinet ini disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun yang memuat program jangka panjang, sebagai berikut.
- Perjuangan pengembalian Irian Barat
- Pembentukan daerah-daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya anggota-anggota DPRD.
- Mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai.
- Menyehatkan perimbangan keuangan negara.
- Mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional berdasarkan kepentingan rakyat.
Pada masa Kabinet Ali Sastroamijoyo II ini dibatalkannya seluruh hasil perjanjian KMB pada tanggal 3 Mei 1956. Muncul pergolakan/kekacauan di daerah yang semakin menguat dan mengarah pada gerakan sparatisme dengan pembentukan dewan militer seperti Dewan Banteng di Sumatera Tengah, Dewan Gajah di Sumatera Utara, Dewan Garuda di Sumatra Selatan, Dewan Lambung Mangkurat di Kalimantan Selatan, dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara. Memuncaknya krisis di berbagai daerah karena pemerintah pusat dianggap mengabaikan pembangunan di daerahnya.
Pembatalan KMB oleh presiden menimbulkan masalah baru khususnya mengenai nasib modal pengusaha Belanda di Indonesia. Banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya pada orang Cina karena memang merekalah yang kuat ekonominya. Muncullah peraturan yang dapat melindungi pengusaha nasional. Timbulnya perpecahan antara Masyumi dan PNI. Masyumi menghendaki agar Ali Sastroamijoyo menyerahkan mandatnya sesuai tuntutan daerah, sedangkan PNI berpendapat bahwa mengembalikan mandat berarti meninggalkan asas demokrasi dan parlementer. Mundurnya sejumlah menteri dari Masyumi membuat kabinet hasil Pemilu I ini jatuh dan menyerahkan mandatnya pada presiden.