Gunting Syafrudin
|Banyak kesulitan dalam bidang keuangan yang dihadapi pada awal kemerdekaan, yang harus segera diselesaikan. Mata uang yang beredar dalam masyarakat bermacam-macam; ada uang NICA atau secara populer disebut “uang merah” ada ORI (di daerah) dan bermacam uang Republik lain yang berlaku di wilayahnya sendiri-sendiri. Uang itu semuanya harus diganti dengan uang baru yang berlaku di seluruh Indonesia.
Tetapi masalahnya bukan semata-mata mengganti uang, karena segala macam uang itu mengalami inflasi yang tingkatnya tinggi. Penukaran dengan uang baru menimbulkan masalah praktis pula seperti penentuan kurs dari macam-macam uang itu terhadap uang baru, yang menyangkut pula utang-piutang dan lain-lain. Neraca perdagangan dari tahun ketahun yang memperlihatkan defisit yang kian membengkak. Ini menyebabkan cadangan devisa dan emas di bank kian menyusut. Disamping itu pemerintah Republik Indonesia Serikat menerima beban utang pemerintah Hindia Belanda, baik utang dalam maupun luar negeri.
Semua masalah yang bertimbun itu merupakan tantangan buat Sjafruddin sebagai Menteri Keuangan. Suatu tindakan drastis harus dilakukan. Masalah pokok ekonomi yang dihadapi ialah karena produksi yang rendah, karena banyaknya mesin yang rusak, perkebunan yang tidak terpelihara, jalan yang tidak dapat dilalui, transportasi yang buruk, pegawai yang terlalu banyak ditambah pula oleh adanya masalah kepegawaian kembar, penyelundupan, dan lain-lain. Bagi Menteri Keuangan RIS tidak dibatasinya kebebasan dalam langkah-langkah persetujuan KMB dalam bidang keuangan telah mengikat langkah-langkahnya. Seperti penentuan langkah-langkah kebijaksanaan devisa, bahkan pengangkatan Presiden dan para direktur Bank Sirkulasi itu pun hanya dapat dilakukan setelah mengadakan perundingan dengan Belanda. Begitu pula lalu lintas pembayaran antara Indonesia dengan negara-negara luar hampir seluruhnya harus disalurkan melalui negeri Belanda.
Pada tanggal 11 Maret 1950 dikeluarkanlah peraturan oleh Lembaga Alat-Alat Pembayaran Luar Negeri (yang mulai berlaku tanggal 13 Maret 1950) untuk memperbaiki perkembangan neraca pembayaran dengan memakai sistem Sertifikat Devisa. Tanpa melakukan perubahan kurs resmi rupiah terhadap mata uang asing, peraturan itu menetapkan kurs efektif bagi pembelian dan penjualan devisa yang berbeda. Orang-orang yang mengekspor barang dari Indonesia, selain memperolah uang sebanyak harga barang-barangnya dalam rupiah Indonesia, juga memperoleh Sertivikat Devisa sebesar 50% dari harga barang yang diekspornya itu.
Setiap orang yang hendak mengimpor barang, selain harus mempunyai ijin untuk memperoleh devisa, juga harus mempunyai Sertifikat Devisa yang besarnya sama denagn harga barang yang hendak diimpornya. Maksud peraturan ini adalah hendak menggiatkan ekspor dan menekan impor. Timbul reaksi yang bermacam-macam terhadap peraturan baru. Di samping yang menggerutu (kebanyakan importir pendatang baru yang tidak mempunyai modal yang cukup kuat), banyak menyambut dengan antusias, karena menganggap peraturan baru ini akan mendorong ekspor dan memberikan perangsang kepada penghasil bahan ekspor yang kebanyakan petani kecil.
Akibat dari peraturan Devisa yang baru ini antara lain, apabila ekspor meningkat maka akan terjadi lebih banyak lagi alat-alat pembayaran asing guna pembelian di luar negeri; Kurs rupiah Indonesia sesudah beberapa lama akan tetap pada tingkat yang semestinya; adanya sistem baru ini, perdagangan gelap akan kurang menarik; dan dengan penyehatan peredaran uang ini, maka luar negeri akan menunujukkan kesediaan yang lebih besar untuk menanamkan modal di Indonesia berupa perbungaan oleh kaum partikelir asing dan berupa pinjaman-pinjaman pemerintah.
Peraturan Sertifikat Devisa kemudian disusul dengan Putusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Serikat tanggal 19 Maret 1950 tentang “Operasi Gunting Sjafruddin” karena sebagi Menteri Keuangan Sjafruddin Prawiranegara mengambil keputusan untuk memotong dua dengan gunting uang merah dengan uang de Javasche Bank dari pecahan Rp 5 ke atas. Pecahan Rp 2,50 dan yang lebih kecil tidak mengalami pengguntingan. Uang ORI juga tidak digunting. Keputusan ini menembak beberapa sasaran: pengganti uang yang bermacam-macam itu dengan mata uang baru, mengurangi jumlah uang yang beredar untuk menekan inflasi dengan demikian menurunkan harga barang, mengisi kas pemerintah dengan pinjaman wajib (Beng To, 1991: 209). Pengguntingan uang pada tanggal 19 Maret 1950 dilakukan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan No.PU/1 tanggal 19 Maret 1950 terhadap uang kertas De Javasche Bank dan uang pendudukan Belanda.
Sejak pukul 8 malam tanggal 19 Maret 1950, uang kertas pecahan Rp 5 keatas digunting menjadi dua. Bagian kiri tetap berlaku sebagi alat pembayaran yang sah dengan nilai setengah dari nominalnya, tetapi sejak tanggal 22 Maret 1950 bagian kiri itu harus ditukarkan dengan uang kertas baru di bank dan tempat-tempat lain yang ditentukan. Batas terakhir penukaran itu sampai dengan tangal 16 April 1950. Sesudah itu, kalau belum ditukarkan juga, bagian kiri itu tidak laku. Sedangkan bagian kanan dari uang itu dinyatakan tidak laku, tetapi dapat ditukar dengan surat obligasi pemerintah sebesar setengah dari nilai nominalnya. Obligasi yang dikeluarkan oleh pemerintah itu dinamakan Obligasi Pinjaman Darurat 1950. Bunganya ditetapkan sebesar 3% setahun