Demo oh demo
|Kok semacam ada keharusan, demo itu harus ricuh. Selama ini demo sebagian besar dapat dipastikan ricuh. Apalagi yang dipermasalahkan hal-hal yang sensitive. Mudah sekali para pendemo terprovokasi untuk bertindak anarkis. Melakukan pelemparan batu, merusak fasilitas umum, itu sudah semacam keharusan diera yang kebabalasan seperti ini. Sebenarnya sih nggak baru kali ini, tapi ini sudah terjadi lama, dari orde lama, orde baru, hingga orde paling baru. Apakah pendemo itu kurang tahu bagaimana cara demo yang gemesin, ya Yanindra???
Baik pendemo dari rakyat yang tidak pernah menjadi siswa hingga yang katanya maha-siswa, kebanyakan demo itu berujung rusuh. Masih membekas dalam ingatan kita bagaimana huru-hara yang terjadi pada tahun 1998, tepatnya pada bulan mei awal dari reformasi. Pendemo, entah itu orang yang tidak pernah menjadi siswa atau yang katanya maha-siswa melakukan tindakan yang tidak manusiawi. Fasilitas umum banyak yang mengalami kerusakan, malah menurut buku yang aku baca, Yanindra, ada beberapa kasus pemerkosaan terhadap penduduk minoritas.
Seolah demo anarkis itu semacam pembenaran, Yanindra.
Mungkin anggapan mereka, kalau demo yang santun, membuat tulisan-tulisan di kertas, menulis kritikan di halaman Koran, itu kurang mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Mereka menganggap aspirasi mereka kurang tersampaikan dan kurang terdengar. Soalnya selama ini para pejabat itu pura-pura buta dan pura-pura tuli dengan keadaan yang ada. Selama tidak menguntungkan bagi mereka, nggak mungkin mereka akan mau berkeringat demi kepentingan rakyat jelata.
Tapi kenapa harus anarkis???
Tapi kenapa harus merusak fasilitas umum???
Tapi kenapa harus jatuh korban jiwa???
Menurutmu apa mereka, pendemo, itu tahu masalah yang menjadi sebab mereka berdemo, Yanindra??? Menurutku sih tidak, sebagian dari mereka hanya ikut-ikutan, sok jagoan, malah ada beberapa yang hanya demi bayaran. Tapi juga ada kok yang benar-benar demo seriusan untuk membela kepentingan rakyat. Kasihan mereka yang demo membela kepentingan rakyat kemudian dibelokkan oleh sebagian orang yang berpandangan sempit demi kepentingan kelompok mereka belaka.
Demo yang dilakukan para mahasiswa itu, selama ini yang aku saksikan dari televisi tetangga mesti berujung dengan kerusuhan, Yanindra. Entah bagaimana orang-orang yang mengaku berpendidikan itu malah tindakannya jauh dari nilai-nilai pendidikan. Katanya mereka adalah maha-siswa, orang-orang yang masih bersih yang tidak ditunggai kepentingan apapun, tapi buktinya apa, Yanindra. Meraka membakar ban ditengah jalan, membuat kemacetan dimana-mana, melakukan pengrusakan fasilitas umum, hingga membuat para pak polisi ada yang terluka demi mengamankan aksi mereka.
Mana mungkin mereka tidak tersulut emosi, Yanindra
Coba bayangkan para mahasiswa yang dari tadi padi belum sarapan, terus harus berorasi dengan berteriak-teriak, itu kan menghabiskan tenaga. Orang lapar itu mudah sekali terprovokasi, Yanindra. Sebenarnya, mungkin saja saat berangkat demo tidak ada keinginan nantinya akan berbuat anarkis, merusak fasilitas umum atau tindakan jahat lainnya, akan tetapi kalau sudah di tempat demo semua sudah lupa, Yanindra. Apalagi kalau status mereka itu pendemo bayaran, ya, semua terserah apa maunya yang bayar. Pokoknya manut saja. Nah mereka inilah yang biasanya menjadi korban pukulan atau tembakan dari aparat.
Kamu tahu yang demo terbaru ini, Yanindra???
“demo di depan gedung KPK itu, yang menuntut kepada wakil pimpinan untuk mengundurkan diri gara-gara omongan dari bapak wakil ketua KPK yang menyindir himpunan mahasiswa indonesia yang melahirkan para koruptor, emang kenapa?”
Kalau menurutku sih nggak harus melakukan perusakan kantor KPK deh. Menurutku KPK itu salah satu lembaga yang masih dapat dipercaya dibandingkan dengan lembaga lainnya. Kalau pingin memperbaiki KPK, ya jangan seperti itu, itu namanya merusak gedung KPK. Sebenarnya apa yang dikatakan oleh pak Situ itu nggak seratus persen salah. Tapi karena kata-kata pak Situ yang menggeneralisir semua maha-siswa itu membuat para maha-siswa itu marah