Bekel dalam Masyarakat Tradisional
|Peranan bekel timbul karena sistem apanage yang mempercayai bekel sebagai penebas pajak yang dibayarkan secara teratur maupun okasional. Sering terjadi kebocoran dalam pembayaran sehingga sejumlah pajak yang diharapkan tidak sampai kepada patuh. Diperkirakan bahwa sikep tidak dapat memenuhi pasokan sehingga jumlah penarikan pajak berkurang, tetapi kemungkinan juga dikarenakan pasokan itu sebelum dampai kepada patuh diambil sebagian oleh kepala-kepala di atas bekel.
Sejak terjadi perluasan perkebunan, peranan bekel sebagai penguasa desa menjadi makin jelas. Setelah pertengahan abad XIX sebutan bekel cenderung sebagai kepala desa. Sejak perusahaan mengikuti sistem birokrasi kolonial, mamaksa peranan bekel sebagai penarikan pajak dan seorang kepala desa dipisahkan. Bekel menjadi kepala desa dan peran sebagai penarik pajak hilang. Dengan demikian, kekuasaan bekel timbul dalam sistem sosial politik di tanah apanage. Selain peranan ekonomi, bekel terlibat dalam peranan politik yaitu dalam pengerahan dan perluasan tanah garapan dan tenaga kerja.
Bekel secara tidak langsung menguasai tanah yang ditebas atau patuh, sehingga ia memiliki kekuasaan kebekelannya. Bekel dapat menguasai hasil sawah dan tenaga kerja para sikep. Selain itu bekel berhak menunjuk kuli kendho menguasai tanah yang baru dibuka.Dengan perkataan lain, sikep bergantung kepada bekel. Patuh juga bergantung kepada bekel karena bekel menguasai sumber daya pedesaan, yaitu tanah dan tenaga kerja.
Para sikep mengakui bekel sebagai patron di kabekelannya karena bekel mampu melindungi kepentingan sikep. Karena bekel dianggap sebagai orang kaya, maka bekel sering dimintai bantuan terutama pada waktu paceklik. Otonami yang berlebihan menyebabkan kekuasaan bekel tak terkendali sehingga ia dapat berbuat sekehendaknya, terutama dalam mengeksploitasi sikepnya. Oleh karena itu perlu diangkat kepala-kepala diatas bekel untuk mengontrol berbagai perkembangan ditingkat desa.
Menurut ketentuan, yang diangkat menjadi bekel adalah keturunan laki-laki, setelah lebih dulu mendapat persetujuan dari bupati pulisi. Penyimpangan dari ketentuan itu diperkenankan asalahkan membayar bekti atau jaminan pengangkatan yang tinggi. Patuh bukan ahanya menuntut bekti kepada bekel yang diangkat itu tapi juga penganyar-anyar, yaitu semacam hadiah dari penyewa baru dan pemalik rahi yaitu hadiah sebagai tanda pergantian penyewa.
Selanjutnya, orang yang dapat diangkat sebagai bekel baru adalah seorang yang tidak cacat jasmani dan tercela perbuatannya. Seorang bekel dilarang merusak desa, merugikan gubernemen, seperti memalsu uang, menjual candu, arak, garam, dan lain-lain. Pelanggaran itu mendapat sangsi yang dikategorikan sebagai perbuatan kejahatan dan kelalaian. Hukuman biasanya berupa hukuman badan, yang dikenakan kepada bekel yang melakukan pelanggaran ringan maupun berat. Untuk hukuman ringan berupa hkuman jemur. Pelanggaran berat, bekel langsung dipecat, dan dalam waktu seratus hari harus sudah diangkat bekel baru.
Kesanggupan bekel sebagai penyewa tanah apanage dinyatakan dalam sebuah kontrak yang disebut piagem. Piagem berisi: a) kesanggupan bekel memungut pajak dari sikep dan menyerahkannya kepada patuh secara teratur, dan b) kesanggupan bekel untuk mengeksploitasi desa sehingga menghasilkan sesuatu yang berupa pajak. Disebutkan juga mengenai pundhutan, ayeran, dan sebagainya.
Dalam piagem disebutkan wewenang bekel untuk menggarap tanah apanage sekehendaknya dan patuh tidak ingin tahu segala akibat ayng terjadi pada petani. Patuh menekan bekel dengan menuntit pajeg dan pundhutan sehingga bekel kemudian menekan dan memaksa sikep untuk memenuhi tuntutan patuh maupun bekel. Dengan perkataan lain, piagem itu mensahkan bekel untuk bertindak sekehendaknya guna mendapatkan pajak. Syarat yang terpenting begi bekel yaitu kejujuran.
Di dalam sistem apanage, bekel ditempatkan sebagai penghubung ke atas dan kebawah. Hubungankeatas menempatkan bekel sebagai penebas tanah apanageĀ sebagai siti gadhuhan dari raja, dan ia bertanggungjawab dalam pembayaran sejumlah pajak seperti yang disebutkan dalam piagem. Kedudukan pada patuh sangat kuat karena ia berkuasa memaksa bekel agar memenuhi tuntutannya. Bekel harus loyal kepada patuh. Pelayanan kepada patuh yang kurang memuaskan mengakibatkan akan terjadi pergantian bekel karena bekel dianggap tidak loyal kepada patuh.
Hubungan kebawah antara bekel dengan sikep dan kuli-kuli lainnya menempatkan bekel sebagai pelindungnya sehingga para kuli itu sangat tergantung kepada bekel. Sambatan wajib juga berlaku pada petani jika bekel memerlukan kuli di tanah kabekelannya. Hubungan keatas antara bekel dengan kepala-kepala diatasnya sampai pada demang dan bupati lebih bersifat politik karena bekel termasu penguasa wilayah yang terbawah, yaitu pada tingkat desa dan harus bertanggunjawab terhadap keamanan desa. Dalam hubungan keatas juga terselip kepentingan ekonomi kepala-kepala perantara karena mereka juga mendapat sebagain kecil dari pajak yang dibayarkan oleh bekel kepada patuh.
Di tingkat desa ada juga usaha untuk memperkuat status sosial di antara penguasa-pengausa desa. Ikatan perkawinan berlangsung antara bekel dengan kepala-kepala diatasnya, yakni keluarga demang, mandor, dan kelaurga Kiai. Hal ini dimaksudkan agar secara ekonomis maupun politis kekuasaan mereka tidak dirongrong oleh golongan sosial lain. Menurut ketentuan, bekel hanya mendapat seperlima dari hasil sawah yang digarap, dalam prakteknya ia dapat memperluas lungguhnya melebihi ketentuan. Secara umum kekayaan bekel dapat diaukur dari luasnya tanah lungguh dan pekaangan, besarnya rumah, mahalnya perhiasan dan banyaknya kerbau, sapi, kuda, dan sebagainya. Bekel temasuk golongan wong cilik yang memiliki gelar kebangsawanan mas.Sebagai rangkaian dari gelar jabatan dan kebangsawanan diperlukan pula lambang-lambang yang menunujukkan status sosial seseorang.
Suhartono, W. Pranoto. 1991. Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-1920. Yogyakarta: Tiara Wacana.