Akhir Revolusi PKI Madiun 1948
|Usaha Pemerintah untuk menumpas pemberontakan dilaksanakan oleh Divisi Narotama pimpinan Sungkono dan Divisi Siliwangi yang merupakan pasukan yang dianggap paling dekat dengan pemerintah. Reaksi tentara pro pemerintah menuju madiun untuk menumpas pemberontakan PKI, dijelaskan lebih lanjut oleh seorang sejarahwan,” Pasukan-pasukan pro-pemerintah yang dipelopori Divisi Siliwangi kini bergerak menuju Madiun, di mana terdapat antara 10.000 dan 25.000 tentara yang pro-PKI (Rickleff, 1992: 345).
Langkah Divisi Siliwangi dalam operasi militernya dari arah Tawangmangu, Sarangan, Plaosan, Magetan, Gorang gareng, Maospati, takaeran, Walikukun, Ngawi Hingga masuk ke Madiun. Selanjutnya dari arah timur, Nganjuk, Gunung Wilis dilaksanakan oleh Laskar Hizbullah, kemudian dilanjutkan mengejar Musso yang lari ke Ponorogo (Suryanegara, 2010). Batalyon Sambas dari Divisi Siliwangi seletah membebaskan Gorang Gareng dari pemberontakan PKI langsung menuju Madiun. Tanpa kesulitan berarti Batalyon Sambas langsung menguasai RRI Madiun dan Langsung menyiarkan bahwa Madiun sudah dikuasai dalam rangka pembersihan Madiun (Maksum, et al., 1990). Suryanegara menjelaskan kondisi masyarakat pada saat datangnya pasukan Siliwangi, “Rakyat dan pelajar terkejut dengan hadairnya Tentara Siliwangi dan Brigade S, masuk Madiun dengan bendera Merah Putih. Ternyata, kudeta PKI di Madiun 19 september 1948 hanya mampu bertahan selama 11 hari. Tepat 30 September 1948 jam 16.00 Tentara Siliwangi pimpinan Mayor Sambas berhasil merebut kembali Madiun”(2010: 257).
Jendral sudirman mengangkat Kolonel Sungkono menjadi Gubernur Militer Jawa Timur dan secara khusus ditugaskan menumpas pemberontakan PKI di Madiun. (Maksum, et al., 1990). Delapan belas jam kemudian dari Markas Besar Soengkono di Kediri mengumumkan darurat Militer dan meminta Masyarakat untuk mendukung pemerintahan baru tersebut. Walaupun Soengkono bersumpah setia kepada Presiden dan Panglima Besar Angkatan Bersenjata, tapi pada awalnya menolak berpartisipasi dalam operasi pemulihan Madiun yang dilaksanakan sejak 21 September di Solo. Soengkono pada umumya menghormati pasukan non-reguler dari ideologi manapun. karena soengkono sadar akan adanya peran saling melengkapi dalam perjuangan kemerdekaan (Anderson, 2008). Soengkono membuktikan loyalitas pada pemerintah pusat dengan melucuti letkol Dachlan yang disebut-sebut Presiden Sukarno sebagai salah satu yang terlibat kudeta. Pada tanggal 27 September, Kediri berada di bawah kekuasaan pemerintah sepenuhnya. Serangan Belanda menjelang agresi militer ke-2 terhadap Jawa Timur dipandang sangat besar kemungkinannya, sehingga Soengkono tidak bisa konsentrasi secara penuh menghadapi PKI (Poeze, 2011).
Letnan Kolonel Surahmad di bawah perintah Soengkono tampil untuk menenangkan keadaan dan memerintahkan anggota PKI paling lambat 22 September. Surahmad membentuk pasukan ekspedisi kecil untuk Madiun dengan mengirim Yonosewoyo dan Sabarudin. Sabarudin dan pasukannya yang diberi nama Kompi Macan Kerah berhasil menjebol basis pertahanan PKI di Dungus melalui lereng gunung Wilis. Walaupun pada akhirnya oprasi ini kurang sukses karena basis pertahanan PKI sudah dikuasai pasukan dari Divisi Siliwangi. (Anderson, 2008; Maksum, et al., 1990 ).
Tanggal 28 September Madiun sudah dikepung oleh pasukan pemerintah dari segala jurusan dan tanggal 30 September kota Madiun sudah diamankan oleh pasukan Republik. Tentara PKI menyingkir kearah timur menuju Dungus. Ketika pasukan Divisi Siliwangi sampai ke Dungus, tentara PKI sudah menyingkir ke Kresek. Karena Pos PKI di Dungus sudah diserang oleh kesatuan-kesatuan Sabarudin atas perintah Sungkono (Poeze, 2011). Di Kresek sudah berkumpul para petinggi PKI seperti Musso, Amir Sjarifudin, Abdul Muntalib, Maruto Darusman, Suripno, Katamhadi, D. Mangku, nona Sriatin, Fransisca Fangidy, Sumarsono, Kolonel Sujoto, Wikana, Joko Suyono, Mayor Banu Mahdi, Mayor Abdul Rahman dan ribuan tentara PKI (Pemkab Madiun, 1980).
Di lereng Gunung Wilis ini pasukan PKI bertindak membabi buta. Tak luput tokoh-tokoh agama juga menjadi sasaran mereka, seperti Kyai Selo (Abdul Khamid) dan anaknya dibunuh sedangkan Kyai Zubir dimasukan ke dalam sumur hidup-hidup. Di antara yang menjadi korban juga adalah Kol. Marhadi Rata-rata korban pembantaian PKI mayat-mayatnya dibuang begitu saja layaknya bangkai tikus. Mayat-mayat bergelimpangan di jalan-jalan dan di buang ke sungai Bengawan Madiun. Korban-korban penculikan diperkirakan tidak ada yang bisa selamat, mereka dibantai secara keji. Ditusuk, ditembak, disembelih dan dilempar ke sumur seperti itulah kekejaman PKI di Madiun. Menurut saksi hidup Mariyun Harjo “Saat itu, suami saya dijemput oleh sekelompok orang dengan alasan akan melakukan suatu rapat mendadak di daerah Kresek, Kecamatan Wungu. Namun, sesampai di sana semua orang yang ada disiksa lalu dibuang“. Sepertinya kata-kata Mariyun mewakili semua kekejaman PKI. Diperkirakan jumlah total keganasan PKI warga Madiun pada tahun 1948 mencapai ribuan orang (Suratmin, 2012).
Tentara PKI berjalan jauh menghindari TNI setelah kekalahan di lereng gunung Wilis menuju Ngebel, Ponorogo. Kemudian pasukan PKI mundur lagi ke arah Pulung dan menuju Balong arah Pacitan, PKI bertahan selama seminggu di daerah Gunung Gambes terletak antara Slahung, Tegalombo & Pacitan (Poeze, 2011). Di daerah Sumoroto Musso tewas karena terpisah dari rombongan PKI. Musso tewas tertembak oleh lettu Sumadi (Maksum, et al., 1990). Jenazah Musso akhirnya dibakar karena gagalnya proses pengawetan pihak rumah sakit Ponorogo.
Longmars Pasukan PKI dilanjutkan dari Gunung Gambes menuju ke utara untuk melewati garis status Quo. Perjalanan melewati Purwaantoro Wonogiri dan berjalan mendaki gunung Lawu. Perjalanan dilanjutkan menuruni gunung Lawu menuju Ngawi melewati Plaosan, Sarangan dan Cemarasewu berhasil mengalahkan TNI dan merampas perbekalan. Pada saat di Ngawi, 9 November 1948 pasukan PKI bertemu dengan rombongan mantan Gubernur Soerjo. Mobil Gubernur Jawa Timur RM Ario Soerjo (RM Suryo) dan mobil 2 perwira polisi dicegat massa pengikut PKI di Ngawi. Ketiga orang tersebut dibunuh dan mayatnya dibuang di dalam hutan. Mobil Soerjo dibakar dan Soerjo beserta rombongannya dibunuh. Selain mantan Gubenur Soerjo, kobannya adalah Komisaris besar polisi M. Doerjat dan komisaris polisi Soeroko. (Poeze, 2011; Maksum, et al., 1990).
Perjalanan PKI berhenti di alas Klambu Purwodadi. Sebenarnya rombongan PKI sudah dekat dengan garis Van Mook yang bisa menghentikan pengejaran TNI. Menurut Suryanegara, “… Amir, Soeripno, dan Harjono dengan pasukan PKI yang dipimpin oleh Djoko Soejono dan Sumarsono, pada tanggal 29 November 1948 ditangkap oleh kompi Pasopati. Kemudian diserahkan kepada batalyon R.A Kosasih/Brigade Siliwangi” (2010: 259). Sesudah pemberontakan madiun dihentikan, Soemarsono berhasil menyelamatkan diri dan lari ke wilayah yang diduduki belanda. Ketika tertangkap Soemarsono tutup mulut. Soemarsono mengaku bernama Soedardjo, Soemarsono tidak berbohong karena nama nama Soemarsono sebenarnya Soedardjo Marsono (Poeze, 2011).
Tanggal 19 Desember 1948, sekitar tengah malam, di dekat desa Ngalihan, Amir Sjarifuddin ditembak dengan pistol pada kepalanya oleh seorang letnan Polisi Militer, sebuah satuan khusus dalam Angkatan Bersenjata Indonesia. Sebelum itu beberapa orang penduduk desa setempat diperintahkan menggali sebuah lubang kubur besar. Dari rombongan sebelas orang yang diangkut dengan truk dari penjara di Solo, Amir orang pertama yang dieksekusi malam itu. Beberapa hari sebelumnya ia, dan beberapa orang lainnya lagi, secara diam-diam telah dipindahkan ke rumah penjara ini dari tempat penahanan mereka di Benteng Yogyakarta (leclerc, 1996).
Pada tanggal 19 Desember 1948 sebelas orang pemimpin dan anggota PKI dibunuh di Dukuh Ngalihan Kelurahan Halung Kabupaten Karanganyar Karesidenan Surakarta pada jam 23.30 yaitu: 1. Amir Syarifudin, 2. Suripno, 3. Maruto Darusman, 4. Sarjono, 5. Dokosuyono, 6. Oei Gee Hwat, 7. Haryono, 8. Katamhadi, 9. Sukarno, 10. Ronomarsono, 11. D. Mangku. Sementara itu lebih kurang 36.000 aktivis revolusioner lainnya ditangkap dimasukkan dalam penjara dan sebagian dibunuh tanpa proses hukum a.l. di penjara Magelang 31 anggota dan simpatisan PKI, di Kediri berpuluh-puluh orang termasuk Dr. Rustam, anggota Fraksi PKI dan BP KNIP, di Pati antara lain Dr. Wiroreno dan banyak lagi yang lainnya. (Hoesein, 2006).