Indonesia pada masa PM. Ali Sastroamijoyo I
|Pasca jatuhnya Wilopo membuat Presiden Soekarno mengalihkan mandatnya ke partai lain, setelah Masyumi dan PNI mengalami kegagalan. Presiden menetapkan Wongsonegoro dari Partai Indonesia Raya (PIR) dan Kabinet terbentuk pada 30 Juli 1953 dengan Ali Sastroamidjojo sebagai Perdana Menteri. Kabinet ini merupakan koalisi antara PNI dan NU yang dipimpin oleh Mr. Ali Sastroamijoyo.
Berikut kebijakan dari Kabinet Ali:
- Meningkatkan keamanan dan kemakmuran serta segera menyelenggarakan Pemilu.
- Pembebasan Irian Barat secepatnya.
- Pelaksanaan politik bebas-aktif dan peninjauan kembali persetujuan KMB.
- Penyelesaian Pertikaian politik
Salah satu prestasi dari kabinet Ali Sastroamijoyo I ini adalah berhasil melaksanakn KAA di Bandung. Selain itu juga berhasil mepersiapkan Pemilihan Umum untuk memilih anggota parlemen. Permasalahan yang dihadapi pada masa Kabinet Ali, yakni Terjadi peristiwa 27 Juni 1955 suatu peristiwa yang menunjukkan adanya kemelut dalam tubuh TNI-AD. Masalah TNI –AD yang merupakan kelanjutan dari Peristiwa 17 Oktober 1952. Bambang Sugeng sebagai Kepala Staf AD mengajukan permohonan berhenti dan disetujui oleh kabinet. Sebagai gantinya mentri pertahanan menunjuk Kolonel Bambang Utoyo tetapi panglima AD menolak pemimpin baru tersebut karena proses pengangkatannya dianggap tidak menghiraukan norma-norma yang berlaku di lingkungan TNI-AD. Bahkan ketika terjadi upacara pelantikan pada 27 Juni 1955 tidak seorangpun panglima tinggi yang hadir meskipun mereka berada di Jakarta. Wakil KSAD-pun menolak melakukan serah terima dengan KSAD baru.
Keadaan ekonomi yang semakin memburuk, maraknya korupsi, dan inflasi yang menunjukkan gejala membahayakan. Memudarnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah yang menganggap Ali Sastroamijoyo hanya fokus pada masalah luar negeri. Munculnya konflik antara PNI dan NU yang menyebabkkan, NU memutuskan untuk menarik kembali menteri-mentrinya pada tanggal 20 Juli 1955 yang diikuti oleh partai lainnya. NU menarik dukungan dan menterinya dari kabinet sehingga keretakan dalam kabinetnya inilah yang memaksa Ali harus mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno pada 24 Juli 1955