Konsep Pimpinan Jawa

rajaKepemimpinan Jawa menurut Gunawan Sumodiningrat terdiri dari: kepemimpinan diri pribadi, kepemimpinan daslam masyarakat, dan kepemimpinan dalam hubungannya dengan Yang Maha Kuasa. (Sumodiningrat 2000:10). Kepemimpinan mengandung arti proses yang akumulasi yang diciptakan sendiri oleh setiap manusia dan secara alamiah mekanisme ini berjalan tetapi tidak jarang diupayakan untuk mencapai target seperti yang diharapkan.

Salah satu ajaran kepemimpinan yang tersurat dalam Serat Wulangreh karya Paku Buwana IV (1788 – 1820) dalam pupuh Pangkur adalah sebagai berikut:

  1. Aja nedya katempelan, ing wewatak kang tan pantes ing budi, watek rusuh nora urus, tunggal lawan manungsa, dipun sami karya labuhan kanga patut, darapon dadi tinuta ing wuri-wuri.
  2. Aja lonyo lemer genjah, angrong pasanakan nyumur gumiling ambuntut arit puniku, watekan tan raharja, pan wong lonyo nora kena dipun etut, monyar-manyir tan antepan dene lemeran puniki.
  3. Para penginan tegesnya, genjah iku cecegan barang kardi, angrong pasanakan liripun, remen salah miruda, mring rabine sadulur miwang ing batur, miwah ing sanak myang pasanakan, sok senenga deng ramuhi.
  4. Nyumur gumuling tegesnya, ambelawah datan duwe wewadi nora kena rubung-rubung, wewadine kang wutah, buntut arti punika precekanipun abener ing pangerepe nanging garethel ing wuri.

Sebagai seorang pemimpin hendaknya tidak dihinggapi watak yang kotor, tak terpuji dan ada enam pantangan yang seyogyanya tidak dilakukan, yaitu: (1) jangan lonyo, artinya seorang pemimpin yang tidak dapat diturut, ragu-ragu tidak dapat mengambil keputusan; (2) jangan lemeran, artinya iri terhadap hak milik dan prestasi orang lain; (3) jangan genjah, artinya tidak mantap dalam pekerjaan; (4) angrong pasanakan, artinya suka mengganggu istri kawan; (5) nyumur gumiling, artinya tidak dapat menyimpan rahasia; (6) ambuntut arit, artinya tidak bersikap ksatria.

Seorang pemimpin harus menjauhi sikap: adigang, adigung dan adiguna. Artinya bahwa seorang pemimpin tidak boleh menyalahgunakan kewenangannya, kekuasaannya dan menyalahgunakan kekuatan dan kepandaiannya. Astha Brata atau “delapan ajaran kepemimpinan” adalah sebagai berikut:

  1. Hambeging surya
  2. Hambeging candra
  3. Hambeging kartika
  4. Hambeging maruta
  5. Hambeging hima
  6. Hambeging dahana
  7. Hambeging tirta
  8. Hambeging bantala

Dalam Serat Witaradya yang ditulis oleh Ronggowarsito juga tersurat dan tersirat ajarang tentang kepemimpinan negara dan kewajiban pegawai negeri, yaitu yang disebut Panca Pratama (lima yang terbaik) adalah sebagai berikut:

  1. Mulat
  2. Amilala
  3. Amiluta
  4. Miladarma
  5. Parimarma

Kepemimpinan Jawa sering dikemas sebagai falsafah kepemimpinan seperti yang tersurat dalam Tridarma karya mangkunegara I sebagai berikut: “Rumangsa melu handarbeni, wajib melu hanggondheli, mulat sarira hangrasa wani”.

Sebagai contoh nilai-nilai yang harus melekat pada diri seorang pemimpin sebagai berikut:

  • Sepi ing pamrih rame ing gawe
  • Ati suci marganing rahayu
  • Nglurug tanpa bala, sugih ora nyimpen, sakti tanpa maguru, menang tanpa ngasorake
  • Mikul dhuwur mendhem jero
  • Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi pati, dan sebagainya

Dalam Serat Narapati Tama, terungkap gambaran potensi managerial power konsep olah praja dan tata praja sebagai berikut:

  1. Wikan-wasiha
  2. Wicaksanengaya
  3. Mengku ning uga ngayomi
  4. Wening nguri budaya, wenang ngluberi, berbudi bawa leksana, ambeg darma, memayu hayuning bawana;
  5. Waskhita prana

Kepemimpinan Jawa menurut Wiwiho dapat dibagi dalam tiga aliran, yaitu (1) aliran kraton atau ksatria; (2) aliran pesisir yang bersifat terbuka, demokratis dan dinamis; dan (3) aliran pesantren yang Islami.

Bagi calon pemimpin yang penting adalah bagaimana memahami hakikat kepemimpinan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi dimana kita berada. Kepemimpinan sekarang atau calon pemimpin di Indonesia seyogyanya tidak mengandalkan diri pada segi keturunan, darah, kharisma atau mengandalkan asal-usul, kelompok atau gaya pribadi tetapi yang penting adalah memiliki keunggulan kemampuan dan keunggulan etika moral yang menjadi tolak ukur universal.

Berbagai konsep kepemimpinan itu nampaknya terdapat benang merah yang kuat dengan konsep kepemimpinan Jawa, antara lain bahwa seorang pemimpin agar berwibawa, maka harus: Sabda pandhita pangadika ratu, tan kena wolak-walik.

Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *