Keadaan Keagamaan Masyarakat Mengger

masjid desa menggerMasyarakat di desa Mengger 100 % menganut agama Islam, namun bukanlah pemeluk agama Islam yang taat menjalankan ibadah. Masyarakat hanya sedikit yang melakukan rutinitas ibadah. Di desa Mengger terdapat 2 Masjid dan 9 Mushola. Masjid-masjid yang ada, terdapat banyak jama’ah shalat hanya pada hari-hari tertentu, misalnya saja hari Jumat dan pada saat bulan Ramadhan. Clifforf Gertz mengklasifikasikan Islam di Jawa menjadi tiga golongan yaitu, santri, priyayi, dan abangan. Dari klasifikasi ini, menempatkan penduduk di desa Mengger termasuk dalam katagori abangan.

Ibadah sholat dan puasa jarang dilakukan oleh masyarakat desa Mengger. Hanya segelintir orang yang melakukan ritual rutin setiap hari. Sebagian besar penduduk tidak menjalankan ibadah tersebut dengan baik. Pengetahuan agama yang kurang, disinyalir menjadi salah satu penyebab hal tersebut. Sebenarnya pendidikan TPA juga ada di desa Mengger, akan tetapi antusias anak-anak untuk mengikutinya masih sangat terbatas. Hal ini juga diperparah oleh orang tua yang tidak menekankan pentingnya pendidikan agama. Bagi para orang tua, kebaikan merupakan nilai yang dianggap penting. Penting hidup itu berbuat baik, masalah agama itu nomor sekian.

Ritual-ritual Jawa masih dilaksanakan di desa Mengger, misalnya slametan, bancakan, nyekar dan sejenisnya. Sebuah selametan yang diselenggarakan oleh suatu rumah tangga, biasanya hanya dihadiri oleh tetangga-tetangga paling dekat. Bancakan dipimpin oleh seorang pemuka adat yang bertugas memimpin doa dalam bahasa Jawa. Bancakan terbagi menjadi beberapa jenis, diantaranya bancakan suro, ruwahan, bodo dan perti bumi. Masyarakat mengger yang sebagian besar, bermata pencaharian petani, masih sangat percaya dengan hal-hal mistik. Bila terjadi suatu peristiwa, mereka akan menghubung-hubungkan dengan mistik. Misalnya saja, hasil panen yang beberapa tahun terakhir menurun disebabkan oleh tidak diadakannya lagi kegiatan perti bumi.

Salah satu ciri masyarakat desa adalah keeratan dan kepatuhan mereka terhadap adat-istiadat masyarakatnya. Mereka adalah masyarakat yang terikat erat oleh kebiasaan-kebiasaan dan tradisi. Masyarakat desa selalu menjunjung tinggi adat-istiadat yang ada. Keterikatan terhadap tradisi dan adat, menyebabkan masyarakat desa cukup tangguh untuk tetap memegang teguh apa kata nenek moyang, dan apa yang diterima sebagai kebenaran oleh masyarakatnya. Masyarakat desa adalah masyarakat beradat, artinya masyarakat yang memegang adat secara teguh (Suprihadi Sastrosupono & Soehartono siswo Pangripto 1984 : 7-8).

Sarana beribadah di desa Mengger dibagi menjadi langgar (mushola) dan masjid. Langgar adalah tempat ibadah yang berukuran kecil, biasanya digunakan untuk beribadah untuk beberapa keluarga saja. Sedangkan masjid, ukurannya lebih besar dan digunakan untuk sholat Jumat. Untuk menunaikan ibadah sholat idul fitri dan idul adha diselenggarakan di halaman SDN Mengger. Biasanya halaman yang luas penuh dikarenakan banyak orang Mengger yang merantau pulang, selain itu ada sebagian penduduk yang ikut sholat meskipun jarang sholat sehari-hari.

Penduduk Desa Mengger dalam perkembangannya terdapat peningkatan dalam hal peribadatan. Adanya para santri dari Pondok Pesantren Gontor, mahasiswa dari Surabaya dan dari mantingan yang melakukan KKN (Kuliah Kerja Nyata) di Mengger merupakan penyebab dari peningkatan pendudukan yang melakukan peribadatan, seperti shalat, mengaji Al’Quran dan melakukan ibadah puasa. Penduduk Desa Mengger cukup antusias dengan adanya KKN, khususnya anak kecil dan para ibu-ibu(Hasil wawancara dengan Sugito tanggal 5 Oktober 2011). Adanya peningkatan jumlah penduduk dalam perbibadatan dibuktikan dengan setiap sore ada beberapa orang yang ke masjid dan pada saat shalat Idul Fitri lapangan tempat shalat penuh tidak seperti tahun sebelumnya.

Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *