Teori Nasionalisme
|Nasionalisme berasal dari kata nation yang berarti bangsa. Bangsa mempunyai dua pengertian, yaitu: dalam pengertian antropologis sosiologis, dan dalam pengertian politis. Dalam pengertian antropologis sosiologis, bangsa adalah suatu masyarakat yang merupakan suatu persekutuan hidup yang berdiri sendiri dan masing-masing anggota persekutuan hidup tersebut merasa satu kesatuan ras, bahasa, agama, sejarah dan adat istiadat. Adapun yang dimaksud bangsa dalam pengertian politik adalah masyarakat dalam suatu daerah yang sama, dan mereka tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan tertinggi ke luar dan ke dalam (Badri Yatim, 1999: 57-58).
Dalam pembentukan nation (bangsa) tersebut ada beberapa teori yang menyebutkan antara lain: pertama, yaitu teori kebudayaan (cultur) yang menyebutkan suatu bangsa itu adalah sekelompok manusia dengan persamaan kebudayaan; kedua, teori Negara (staat) yang mengatakan bahwa terbentuknya suatu negara ditentukan oleh penduduk didalamya yang disebut bangsa; ketiga, teori kemauan (will), yang menyatakan bahwa terbentuknya suatu bangsa karena adanya kemauan bersama dari sekelompok manusia untuk hidup bersama dalam ikatan suatu bangsa, tanpa memandang perbedaan kebudayaan, suku, dan agama (Suhartono, 2001: 7).
Istilah nasionalisme lazim digunakan sehubungan dengan revolusi atau perang. Dalam surat-surat kabar Amerika Utara, istilah nasionalisme digunakan untuk mengacu pada Negara-negara Afrika, Asia, Amerika Latin atau Timur Tengah (Lynan Tower Sargent, 1987: 16). Terdapat berbagai pendapat tentang pengertian nasionalisme, diantaranya adalah menurut Hans Kohn dalam Encyclopedhia Of Sosial Science (1972: 63) adalah keyakinan politis yang mendasari kepaduan kemasyarakatan modern dan pengesahan secara otoritas. Nasionalisme menjadi pusat kesetiaan tertinggi bagi mayoritas orang pada satu kebangsaan baik bangsa yang sudah ada maupun yang baru di inginkan.
Nasionalisme merupakan tindakan yang didasarkan terhadap perasaan akan kesetiaan pada Negara yang dipergunakan untuk menggalang kekuatan dalam rangka mewujudkan Negara nasional dengan tindakan patriotik. Selanjutnya dijelaskan oleh Stoddart dalam Miriam Budihardjo (1984: 31) bahwa nasionalisme adalah suatu keyakinan yang dimilki sejumlah besar perorangan sebagai suatu kebangsaan. Nasionalisme merupakan manifestasi kesadaran nasional yang mengandung cita-cita dan merupakan ilham yang mendorong dan merangsang suatu bangsa (F. Isjwara, 1982: 127). Keyakinan yang dimiliki sejumlah besar orang dalam suatu bangsa akan mewujudkan kesadaran untuk mencapai cita-cita dan mendorong semangat bersatu dalam satu bangsa. Hal ini dikatakan oleh Otto Bauer dalam Sumarsono Moestoko (1988: 77) bahwa nasionalisme adalah perasaan untuk bersatu dalam daerah suatu bangsa.
Konsep nasionalisme dalam pengertian modern berasal dari dunia barat. Timbulnya nasionalisme erat kaitannya dengan kolonialisme. Nasionalisme yang tumbuh pada pihak yang diajah berusaha melepaskan diri dan melalui semangat nasionalisme itu dapat membawa keruntuhan pemerintahan kolonial di Indonesia. Hertz dalam F. Isjwara (1977: 111) menyebutkan adanya empat macam cita-cita yang terkandung dalam nasionalisme, yaitu : (1) perjuangan mewujudkan persatuan nasional yang meliputi persatuan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, keagamaan, kebudayaan dan persekutuan serta adanya solidaritas; (2) perjuangan untuk mewujudkan kebebasan nasional yang meliputi kebebasan dari kekuasaan asing atau campur tangan dunia luar dan kebebasan dari kekuasaan-kekuasaan intern yang tidak bersifat nasional atau yang hendak mengesampingkan bangsa dan negara. (3) perjuangan mewujudkan kemandirian, pembedaan, individualitas, keaslian dan keistimewaan; (4) Perjuangan untuk mewujudkan perbedaan di antara bangsa- bangsa yang meliputi perjuangan untuk memperoleh kehormatan, kewibawaan, gengsi dan pengaruh.
Nasionalisme sebagai manifestasi dari kesadaran nasional mengandung sebuah cita-cita atau ilham yang mendorong dan merangsang suatu bangsa untuk bersatu. Hertz yang dikutip oleh F. Isjwara (1982: 127) menyebutkan ada empat macam cita-cita yang terkandung dalam nasionalisme yaitu: (1) Perjuangan untuk mewujudkan persatuan nasional yang meliputi persatuan bidang politik, ekonomi, sosial, agama, kebudayaan dan persekutuan serta adanya solidaritas; (2) Perjuangan untuk mewujudkan kebebasan nasional yang meliputi kebebasan dari penguasaan asing; (3) Perjuangan untuk mewujudkan kesendirian (separentenses), pembedaan (distinctivenses); individualitas keaslian (originality) atau keistimewaan, dan (4) Perjuangan untuk mewujudkan perbedaan diantara bangsa-bangsa, yang meliputi perjuangan untuk memperoleh kehormatan, kewibawaan, gengsi dan pengaruh.
Di dalam nasionalisme terdapat unsur-unsur yang terkandung didalamnya yang sangat penting untuk memperkuat nasionalisme dalam diri suatu bangsa. Menurut M. Hutauruk (1984: 111) unsur-unsur penting nasionalisme adalah : (1) Kesetiaan mutlak, kesetiaan individu, kesetiaan tertinggi individu itu adalah pada nusa dan bangsa; (2) Kesadaran akan suatu panggilan; (3) Keyakinan akan suatu panggilan; (4) Harapan akan tercapainya sesuatu yang membahagiakan; (5) Hak hidup, hak merdeka dan hak atas harta benda yang berhasil dikumpulkan dengan jalan halal; (6) Kepribadian kolektif yang mengandung perasaan mesra sekeluarga, nasib serta tanggung jawab yang sama, persaudaraan dan kesetiaan di antara manusia itu; (7) Jiwa rakyat (Volkgeist) yang ada dalam tradisi, bahasa, ceritera dan nyayian rakyat, dan (8) Toleransi yang sebesar-besarnya terhadap satu sama lain.
Konsep nasionalisme dalam pengertian modern berasal dari dunia Barat. Nasionalisme mula-mula dibenihkan oleh golongan menengah Inggris yang tergabung dalam kelompok puritan, kemudian lewat pemikiran-pemikiran John Locke menyeberang ke Perancis dan Amerika Utara. Nasionalisme yang bangkit abad ke-18 itu merupakan suatu gerakan politik untuk membatasi kekuasaan pemerintah dan menjamin hak-hak warga negara. Gerakan ini juga dimaksudkan untuk membina masyarakat sipil yang liberal dan rasional. Nasionalisme abad ke-18 itu telah melahirkan negara bangsa (nation state) di Eropa dengan menentukan batas-batasnya di satu pihak dan melahirkan imperialisme di pihak lain. Nasionalisme yang semula berkembang di Eropa itu juga berkembang di negara-negara luar Eropa, tetapi dengan nuansa yang berbeda (Cahyo Budi Utomo, 1995: 17-18).
Berbeda dengan latar belakang timbulnya paham nasionalisme dalam abad ke-18 di Amerika Utara dan Eropa Barat yang bertujuan membatasi kekuasaan pemerintah dan menjamin hak-hak warga negaranya, maka nasionalisme di Asia dan Afrika mulanya timbul sebagai gerakan kaum terpelajar. Kaum terpelajar mensosialisasikan nasionalisme tersebut di tengah masyarakat, dan membentuk organisasi politik yang berjiwa nasionalis (Ichlasul Amal & Armaidy Armawi, 1998: 21-162).
Khusus untuk nasionalisme Asia pada hakekatnya merupakan hasil perkenalan bangsa Asia dengan kolonialisme dan imperialisme, dan nasionalisme itu muncul bukan sebagai imitasi (peniruan) dari nasionalisme Eropa. Nasionalisme Asia pada dasarnya tumbuh sebagai reaksi atas kolonialisme bangsa Eropa. Nasionalisme dalam perlawanannya terhadap kolonialisme tidak selalu bersifat pasif, dengan cara isolasi (menutup pintu), tetapi juga bersifat aktif dengan cara mengoper cara-cara yang baik dan membuang cara-cara yang buruk.
Nasionalisme yang muncul di Indonesia pada dasarnya sama dengan nasionalisme di Asia. Tumbuhnya nasionalisme di Indonesia merupakan bentuk dari reaksi atau antithesis terhadap kolonialisme, yang bermula dari cara eksploitasi yang menimbulkan pertentangan kepentingan yang permanen antara penjajah dan yang di jajah. Nasionlisme merupakan gejala historis yang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kekuasaan kolonialisme bangsa Barat. Dalam konteks situasi kolonial, nasionalisme Indonesia adalah suatu jawaban terhadap kondisi politik, ekonomi dan sosial yang ditimbulkan oleh situasi kolonial (C.S.T Kansil & Julianto, 1984: 16).
Nasionalisme di Indonesia muncul karena adanya reaksi terhadap pemerintah Belanda, sehingga menimbulkan kesadaran dikalangan orang-orang Indonesia. Rasa nasioanalisme yang dimiliki bangsa Indonesia menjadi menyatu. Hal ini disebabkan : (1) Persamaan agama, karena 90% penduduk Indonesia beragama Islam; (2) Perkembangan lingua Franca, yaitu bahasa Melayu menjadi satu bahasa kebangsaan; (3) Adanya dewan rakyat atau Volksraad yaitu majelis perwakilan tertinggi untuk seluruh Indonesia. Bangsa Indonesia dari berbagi pulau menjadi sadar bahwa masalah bersama harus dihadapi bersama pula, sehingga mendorong kepada persatuan bangsa. (Ismail bin Muhammad & Zuharom bin Abdul Rashid, 1980: 49-51).
Sumber
Sidi Gazalba. 1981. Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu. Jakarta : Bathara.